Selasa, 18 Desember 2012 09:57
JAYAPURA -Tewasnya Ketua Militan KNPB Pusat, Hubertus Mabel, dinilai oleh keluarga besar KNPB dan keluarga korban adalah suatu tindakan pelanggaran hukum dan pelanggaran pidana yang sangat fatal.
Pasalnya, jika sesuai prosedur hukum, seseorang yang diduga terlibat hukum pidana setelah dilumpuhkan, ditangkap dan diproses hukum, namun hal itu berbeda dengan penangkapan Hubertus Mabel dan kawan-kawannya.
Sebab menurut Jubir KNPB, Wim R. Medlama, Hubertus Mabel saat dilumpuhkan tim panas pada kedua kakinya oleh aparat, yang bersangkutan diamankan di dalam mobil Polisi, Hubertus Mabel dianiaya dan ditikam dengan senjata tajam.
โPada Minggu Sore (16/12) Hubertus Mabel, dan Anggota Militan KNPB, Natalis Alua saat digrebek keduanya tidak melawan, malah dilumpuhkan dengan tima panas, lalu Hubertus Mabel kami duga dianiaya dan ditikam jantungnya, sedangkan Natalis Alua juga dianiaya aparat keamanan sehingga sekarang di rawat di RSUD Wamena,โ
ungkapnya dalam keterangan persnya kepada wartawan di Prima Garden Abepura, Senin, (17/12). Dijelaskan, tindakan aparat keamanan sudah diluar ambang batas perikemanusian, sebab selain perbuatan sadis, jika aparat keamanan tidak mengijinkan keluarga korban dan aktivis KNPB melihat jenasah korban dan dilakukan otopsi.
โKNPBย bersama masyarakat, kesal dengan tindakan Polisi yang bertugas di tanah Papua dimana telah melakukan penembakan terhadap Ketua Militan KNPB Pusat, Hubertus Mabel dan temanya Natalis Alua,โ
tegasnya.
Menurutnya, jika dilihat Hubertus Mabel maupun rekan-rekannya tidak terlibat dalam aksi penyerangan Pirime Lanny Jaya. Tindakan aparat tersebut dinilai sebagai upaya aparat polisi untuk memuaskan kekesalan mereka dan membalas dendam atas kematian ketiga oknum Polisi yang tewas dalam penyerangan di Polsek Pirime tersebut.
โItu sebuah Skenario untuk memvonis Hubertus melakukan perlawanan dan perbuatan, padahal itu tidak benar. Itu hanya menghilangkan rasa sedih dari anggota keluarga korban polisi itu, itu sebagai pelampiasan saja. Kalau hukum itu ditangkap dan diadili, bukan dihabisi nyawanya, yang berhak mengambil nyawa orang itu hanya Tuhan,โ
imbuhnya.
Ditandaskannya, seharusnya Polda Papua mengantongi dan menunjukan bukti hukum yang kuat baru mengambil tindakan hukum, tapi tindakan hukum bukan langsung menghabisi nyawanya, melainkan ditangkap dan diadili untuk membuktikan apakah Hubertus Mabel melakukan pelanggaran hukum atau bukan. Ini sama seperti kasus Mako Tabuni.
Pihaknya menilai, tindakan-tindakan aparat keamanan selama ini hanya sebagai bentuk mematakan/ memadamkan isu Papua Merdeka, tapi justru hal itu malah terus mendorong proses cepat kemerdekaan bangsa Papua Barat.
Ditegaskan, meski upaya aparat keamanan dengan berbagai cara memadamkan api perjuangan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat, seperti membunuh anggota KNPB dan rakyat Papua dan menuding KNPB teroris, tapi harus diingat bahwa untuk itu, 1 di tembak/dibunuh, tapi 1000 KNBP/rakyat Papua siap bangkit melawan terus sampai kemerdekaan diperoleh secara utuh.
โAwalnya kami dituding teroris, itu hanya untuk menghabisi kami KNPB, kami tidak tahu rakit Bom, terus dituding, dan permainan apalagi yang akan dimainkan aparat keamanan untuk mengkambinghitamkan kami dan rakyat Papua,โ
tegasnya.
DAP Kutuk Pembakaran Rumah Adat Pilamo
Semenara itu, Dewan Adat Papua mengutuk aksi pembakaran Rumah Adat Pilamo yang dilakukan aparat kepolisian di Wilayah Adat Suku Baliem atau wilayah Adat Lapago, Minggu ( 16/12/2012) malam. Pembakaran terhadap Rumah Adat yang digunakan oleh Dewan Adat Papua sebagai Kantornya itu, menyusul penangkapan terhadap aktivis KNPB sehubungan beberapa insiden yang terjadi di Wilayah Adat Baliem Lapago.
Ketua Dewan Adat Baliem Lapago, Lamok Mabel menyatakan, melihat kondisi terakhir khusus yang menimpa masyarakat di Wamena yang mengakibatkan hilangnya nyawa masyarakat sipil serta dibakarnya Rumah Dewan Adat menunjukkan perbuatan ini merupakan perbuatan manusia tidak bermoral yang dilakukan dimalam hari pukul 11:00.
Lemok Mabel menilai, selain perbuatan terkutuk, perbuatan membakar Rumah Adat ini dilakukan pada hari minggu yang merupakan hari suci di minggu Advent dan bulan Desember merupakan bulan yang penuh damai bagi.
Lemok Magel melihat, tindakan tidak bermoral itu dilakukan oleh aparat tanpa prosedural, tanpa alasan jelas di tengah malam. Menurut dia, Pilamao yan merupakan Rumah adat masyarakat di Wilayah Baliem dibangun sebagai implementasi Undang undang Dasar 1945 pasal 18 yang diperkuat lagi dengan Undang undang Otsus Papua serta konvenan Internasional sesuai Deklarasi PBB tentang masyarakat Adat atau pribumi Internasional, pada september 2007.
Melihat kenyataan itu, maka kami menyampaikan beberapa pernyataan dan rekomendasi bahwa kami mengutuk dan bersumpah: dari yang merencanakan, memerintahkan pembakaran terhadap Rumah Adat Pilamo, maka suku dan bangsa mereka akan mengalami musibah yang tidak berkesudahan selama tujuh turunan, karena Honai Adat merupakan tempat berlindung semua pihak, bukan saja orang Papua asal Baliem, melainkan orang dari luar juga akan berlindung dalam Honai Adat ini yang mempunyai nilai sakral.
Dengan pembakaran Honai adat ini, maka kami Dewan Adat Papua menilai dan beranggapan bahwa, TNI/POLRI maupun Pemerintah telah merusak citra dirinya sendiri. Dewan Adat menilai pembakaran Honai merupakan suatu bentuk pengusiran paksa yang dilakukan TNI/POLRI dan Pemerintah terhadap penduduk Pribumi Papua dari tempat tinggalnya.
Pernyataan kutuk terhadap pembakaran Honai adat ini juga mendapat tanggapan sama dari beberapa anggota dan Ketua Dewan Adat masing masing wilayah di Papua yang hadir dalam Jumpa persnya di Waena Jayapura siang kemarin. Termasuk pernyataan dari Petapa. Dewan Adat Papua seperti diterangkan Lemok Mabel menyatakan, Polda Papua dan Pangdam harus bertanggung jawab terhadap pembakaran Rumah Adat ini. โBukan tanpa alasan, bila rumah adat orang jawa misalnya dibakar pasti orang suku jawa akan marah atau sengaja membakar keraton misalnya pasti Sultan juga akan marah, karena mempunyai nilai budaya dan kesakralan , maka kamipun demikian akan marah sebab Rumah adat atau Honai adat kami dibakar karena Rumah Adat ini mengandung nilai-nilai budaya dan sakral yang dijaga turun temurunโ
Dewan Adat juga meminta agar presiden bertanggung jawab terhadap pembakaran Rumah adat di Wamena pada Minggu ( 16/12) malam
Dewan Adat Papua yang diwakili oleh Lemok Mabel, Marthen Swabra, Robert Watae, Efraim Yoteni dan Albert Boykaway dari Petapa mengungkapkan hal yang sama yakni pertanggung jawaban Kapolda, Pangdam dan Presiden terhadap peristiwa yang terjadi di Wamena hingga pembakaran Rumah adat. (nls/ven/don/l03)