Selasa, 09 Oktober 2012 08:29, bintangpapua.com
Posisi Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) suatu jabatan yang tidak gampang. Banyak hal, antara cita cita dan keinginan Lembaga Representatif orang asli Papua (MRP) untuk berkolaborasi dengan Eksekutif dan Legislatif. Artinya ada kepentingan masyarakat yang harus diakomodir dalam aspek hukum yang dihasilkan melalui perdasi perdasus dan butuh kerjasama. Tapi sayangnya kerap kebijakan MRP ini tak singkron.
Oleh Veni Mahuze- Bintang Papua
“ Kita perlu satukan visi dalam melangkah untuk menghasilkan produk produk hukum, antara keinginan MRP yang kerap tak singkron di lapangan, meski inisiatif sudah dimulai MRP, saya belum melihat MRP Periode II ini menghasilkan sesuatu untuk ditingalkan seperti apa yang sudah digagaskan MRP sebelumnya, masih banyak hal yang harus dibuat, “katanya.
Kini MRP diusianya yang kesatu tahun lima bulan ini, dia masih sangat muda, dia lahir karena riak riak orang asli Papua, dia ada juga karena Otsus Papua, namun sampai hari ini, tetap juga saya melihat belum ada singkron antara Eksekutif dan Legislatif dalam menghasilkan produk hukum karena tak ada kekompakan di tingkat relasi kuasa. Padahal ketiga relasi kuasa ini harusnya kompak mengimplementasikan Otsus di Tanah Papua. “Itu pergumulan saya selama ini,” kata Timotius Murib, mantan Ketua DPRD Puncak yang kini Ketua MRP. Murib yang ditemui di Rumah Dinas Ketua MRP di Kotaraja, Minggu (7/10) Sore, nampak kurang puas dengan kerja MRP, padahal ketaksingkronan itu harus disatukan antara visi misi dan gerak langkah. Antara MRP, DPRP dan Pemerintah Daerah supaya apa yang dipikir oleh MRP juga dipahami DPRP dan Gubenur, tanpa mengabaikan pihak Yudikatif, karena Yudikatif tetap sebagai pihak yang menyukseskan semua produk hukum.
Ia bercerita, begitu dirinya terpilih sebagai Ketua MRP di usia MRP kesatu tahun lima bulan ini, dalam periode kepemimpinannya, salah satu contoh MRP harus memperjuangkan salah satu produk hukum seperti Perdasus Nomor. 6 Tahun 2011 tentang Pilgub Papua, implemetasinya molor di jalan karena tak singkron antara Keinginan dan kebijakan yang tak kompak, padahal disini kita butuh kekompakan supaya kepentingan yang sudah ada diakomodir.
Selama pengambil kebijakan di ranah publik tidak bersatu menyuarakan Hati Nurani Rakyat Papua, maka 25 tahun kesempatan untuk sukseskan kesejahteraan di atas tanah Papua ini sesuai cita cita Undang undang Otsus tak akan berhasil dan stagnan bila kita tidak bersatu. “Saya rasa persatuanlah hal utama dan penting,” ujarnya.
“Saya katakan, mengapa tidak berhasil, mungkin istilah yang pas mengarah ke situ adalah masih adanya “PATIPA”, atau Papua Tipu Papua yang duduk di ranah pengambil kebijakan, istilah ini akan berlaku terus selama diantara orang Papua sendiri tak kompak, contoh ini mengarah pada oknum orang Papua yang ada di Tanah Papua yang menduduki kursi penting, yang dapat dikelompokkan kedalam orang orang yang tak punya hati dan masuk dalam strata ketiga dalam struktur masyarakat Papua. Mereka kurang peduli, kalaupun peduli, kepedulianya itu bukan datang dari lubuk hatinya karena memang mereka tak rasakan apa itu hidup menderita dibawah bayang bayang kekerasan simbolik”.
Menurut Murib, “Kelompok ketiga dari masyarakat Papua ini akan mendapatkan cela dimana tak adanya kesepahaman diantara orang Papua maka kondisi riil ini dimanfaatkan, hal ini nampak dalam upaya memperjuangkan Perdasus Nomor 6 tadi, sambung Murib.
Padahal DPRP sudah buat rancangan perdasusnya, lantas dikirimkan ke MRP untuk membuat persetujuan dan dikembalikan ke Eksekutif untuk dibuatkan penomoran, ini berjalan, namun dipertanyakan lagi mengapa KPU gugat Pilgub kemarin???, “ saya heran, ini namanya tidak kompak, padahal kru KPU sendiri didududki orang asli Papua, saya katakan itu tadi, mereka tak punya hati”.
Oleh karena itu mengapa masalah Pilgub Papua ini terus molor hingga sekarang satu tahun lebih, saya mau katakan ini, “Karena kami sendiri antara orang Papua yang duduk di lembaga pengambil kebijakan ini tidak konsekwen dan bersatu, dan tidak punya hati, hingga keinginan saya Timotius kedepan itu, KPU harus diduduki orang yang punya hati, gubernur harus punya hati, DPRP harus punya hati, MRP lebih lagi harus punya hati”, sambung Murib.
Meminjamkan istilah yang sering digunakan orang saat ini bahwa, menjadi pemimpin itu harus orang takut Tuhan, namun menurut dirinya istilah takut Tuhan saja tak cukub, lebih dari itu dibutuhkan orang yang punya hati duduk di tiga lembaga ini dan punya hati dan komitmen sama dan perlunya membangun komunikasi Intens. Ia melihat yang terjadi justru sebaliknya, tak ada ruang komunikasi yang baik antara ketiga lembaga ini.
Padahal, bila dilihat komunikasi merupakan sarana mempererat relasi dalam melakukan evaluasi bulanan atau tiga bulanan antara MRP, DPRP dan Gubenur perlu duduk satu meja, diskusi masalah kesehatan di Papua ini bagaimana, kemajuan bidang Pendidikan di Papua ini bagaimana, sebaliknya sudah sampai dimanakah perkembangan ekonomi rakyat, dimana satu hal penting yakni, bagaimana pemberdayaan perempuan, sudahkah perempuan mainkan perannya sejauh ini bagaimana?, berikut keberadaan Pemuda bagaimana?
Saat diskusi tiga relasi itulah bisa diungkapkan bahwa hal hal spesifik ini menjadi tugas MRP, ini jadi tugas DPRP maupun sebaliknya Gubernu punya kebijakan apa. Dengan berkumpul dan berdiskusi kita bisa tahu disitu, bila ada hal yang tak terselesaikan hingga butuh campur tangan Pemerintah Pusat, Ya, Kita bicara dan sama sama menghadap Pemerintah Pusat.
Perwakilan utusan Masyarakat Adat MRP ini melihat, bila ada kekompakan diranah itu, tak ada yang tidak diperhatikan Pemerintah Pusat, selama ini Pemerintah pusat mau mendengarkan apa yang diutarakan ketiga lembaga ini, disisi lain Pemerintah melihat adanya keterpecahan karena kurangnya kekompakan dalam sebuah kebijakan yang perlu melibatkan Pemerintah Pusat.
Tak Merangkum Tiga Relasi
Ia mencontohkan, dalam beberapa kali pertemuan pembahasan Perdasus dan sejumlah pertemuan antara Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendagri dengan MRP, DPRP maupun Gubernur, nampak jelas sekali setiap pertemuan yang direncanakan dengan Pemerintah Pusat tersebut, tak pernah merangkum ketiga lembaga ini duduk dalam satu meja.
Contoh kecilnya, Mendagri panggil Gubernur dalam tempat dan saat terpisah di pagi hari dilakukan pembicaraan, berikut dihari dan tempat terpisah lagi, pada siang harinya bertemu dengan DPRP , waktu lainnya di sore hari dengan MRP, sistim ini dianggap Timotius sebuah sistim yang tidak kompak dimana bisa disinyalir mengubah arah sebuah konsep kebijakan yang dibawah ketiga lembaga ini dihadapan Pemerintah, ya, kita lihat saja cara penyampaian akan berbeda, persoalannya untuk memberikan pertimbangan pada sebuah kebijakan oleh Pemerintah Pusat itu memang lama, sebab harus memperhatikan masukan masukan dari masing masing lembaga.
Ini terjadi karena penyampaian aspirasi oleh ketiga lembaga ini disampaikan tak pernah dalam satu pertemuan sama yang direncanakan dalam satu ruang. Oleh karena itu pergumulan saya, Timotius Murib bahwa saat ini ada moment Pilkada Papua yang akan memilih anak bangsa yang baik dari ketujuh bakal calon Gubernur dan Wakil Gubenur. Apabila KPU membuka pendaftaran lagi, maka diantaranya siapa siapa yang ditunjuk Tuhan dan dipilih masyarakat, moga moga bakal calon ini punya hati untuk datang duduk dirumah gubuk rakyat atau datang duduk di gubuk MRP ini kah, duduk di DPRP.
Komunikasi Intens
Bila menelisik, ada yang salah diantara tiga lembaga ini yakni belum terbangunnya Komunikasi intens, hal itu diakuinya. “Saya rasakan beda sekali, selama ini MRP jalan sendiri, DPRP jalan sendiri, Pemerintah jalan sendiri, masing masing dengan keinginannya, hingga ada ketimpangan relasi yang terjadi, padahal sama sama membawa sekaligus menjawab aspirasi rakyat di Papua”, ujarnya.
Mungkin saat ini kami MRP butuh sebuah ruang komunikasi intens yang mempertemukan ketiga tunggu elit rakyat ini untuk sama sam mendengar apa mau rakyat dan kelompok kelompok masyarakat, kita lihat, turun langsung kelapangan, cari solusi, sampaikan pada Pemeirntah pusat juga dengan kompak, hal ini dimaksudkan untuk meminimimalisir ketimpangan relasi kuasa dalam menjawab kebutuhan publik. Ketimpangan relasi ini dirasakan juga dalam pembuatan sejumlah produk hukum berapa perdasi perdasus yang tak selesai dibahas. (Bersambung)