JUBI — Pemerintah Indonesia diminta segera bertindak atas temuan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyatakan pelanggaran HAM dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia di Kongres Rakyat Papua (KRP) III pada tanggal 19 Oktober 2011 lalu. Demikian isi release Amnesty Internasional (AI) yang diterima oleh tabloidjubi.com (8/11).
Tim investigasi Komnas HAM menemukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia, termasuk memulai tembakan pada peserta KRP III. Komnas HAM sendiri telah meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menyelidiki pelanggaran HAM.
Temuan ini sudah dilaporkan kepada Presiden pada tanggal 7 November, namun kantor kepresidenan menolak temuan tersebt dengan alasan polisi masih menangani kasus tersebut.
AI meminta pihak berwenang Indonesia harus melakukan investigasi independen, menyeluruh dan efektif atas temuan Komisi. Jika investigasi menemukan bahwa pasukan keamanan melakukan pembunuhan di luar hukum atau penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, maka mereka bertanggung jawab, termasuk orang yang memberikan komando. Mereka harus dituntut dalam proses yang memenuhi standar internasional tentang keadilan dan korban diberikan reparasi.
Kegagalan untuk membawa pelaku pelanggaran ini ke pengadilan dalam sebuah pengadilan yang adil akan memperkuat persepsi bahwa pasukan keamanan di Papua tak dapat dipercaya.
Menurut Komnas HAM, tiga orang yang ditemukan tewas mengalami luka tembak di tubuh mereka. Komisi tidak dapat mengkonfirmasi apakah mereka dibunuh oleh polisi atau militer, dan telah meminta penyidik polisi forensik untuk memeriksa peluru yang ditemukan disekitar lokasi kejadian. Komnas HAM juga menemukan bahwa setidaknya 96 peserta telah ditembak, ditendang atau dipukuli oleh petugas polisi.
Komnas HAM lebih lanjut melaporkan bahwa pasukan keamanan telah menyerbu sebuah biara Katolik dan seminari. Mereka ditembak di gedung dan memecahkan jendela ketika para rohaniawan menolak untuk menyerahkan warga yang bersembunyi. Komnas HAM juga mengangkat kekhawatiran bahwa pasukan keamanan telah menyita ponsel, komputer laptop, printer, kamera, mobil, sepeda motor dan jutaan rupiah uang tunai, dan menyerukan untuk item ini harus dikembalikan kepada pemilik.
Komnas HAM juga menegaskan, bertentangan dengan pernyataan pihak berwenang Indonesia bahwa Kongres adalah ilegal, bahwa Menteri Hukum, Politik dan Keamanan Indonesia sebenarnya sudah mengarahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri, untuk menghadiri Kongres dan memberikan pidato pembukaan.
Komisi membuat serangkaian rekomendasi termasuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempercepat dialog dengan rakyat Papua dan untuk mengevaluasi penyebaran kehadiran keamanan yang besar di daerah tersebut.
Penyelidikan Komnas HAM menunjukkan bahwa pasukan keamanan tampaknya telah melanggar hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, baik yang non-derogable dibawah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia adalah negara yang menandatangani konvensi tersebut.
Dengan menggunakan kekerasan yang tidak perlu dan berlebihan dan penggunaan senjata api terhadap peserta, pasukan keamanan Indonesia juga melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lain, di mana Indonesia juga telah meratifikasi konvensi tersebut. Selain itu, hak semua orang di Indonesia untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dijamin dalam konstitusi Indonesia dan UU tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Tindakan aparat keamanan juga tampak bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum, antara lain, bahwa kekuatan senjata api harus digunakan hanya sebagai upaya terakhir, sebanding dengan ancaman yang ditimbulkan, dan harus dirancang untuk meminimalkan kerusakan atau cedera. (Jubi/Victor Mambor)