REP | 20 September 2011 | 14:48
Setiap roda belakang pesawat Garuda Indonesia menyentuh landasan di Bandara Mokmer (Frans Kaisiepo), Biak, air mata haru pasti menetes dari pelupuk mata penulis.
Sebaliknya, setiap pesawat lepas landas dari Mokmer ke arah barat, saya teringat masa sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat 1969, yakni ketika satu pesawat bersama rombongan tokoh masyarakat Irian Barat berangkat ke Jakarta dengan Hercules AURI. Saat itu tampak jelas betapa rasa bahagia mereka begitu terpancar. Mata mereka berbinar-binar, tepuk tangan pun bergemuruh di dalam pesawat.
Biak adalah saksi bisu segala peristiwa sejak jadi pangkalan udara utama yang digunakan Jenderal Douglas MacArthur untuk melakukan ”lompatan katak” mematahkan kekuatan Jepang di Asia Pasifik pada Perang Dunia II. Di daerah Kloefkamp, Mokmer, sampai ke Bosnik masih tersisa gua-gua Jepang serta bangkai tank-tank amfibi tentara AS dan Jepang.
Di Biak pula, tepatnya di Ritge II, saya lihat dari pintu belakang rumah ke markas Raiders TNI AD betapa asyik Pangdam XVII/Cenderawasih saat itu, Sarwo Edhie Wibowo, minum kopi di petang hari bersama Lodewijk Mandatjan. Mantan tokoh Organisasi Papua Merdeka dari suku Arfak ini baru tiba dari Manokwari, dijemput ”dua anak angkatnya”, anggota Pasukan Gerak Tjepat (PGT, kini Paskhas) TNI AU dan anggota Komando Pasukan Sandi Yudha (kini Kopassus) TNI AD.
Biak memang tempat yang amat kontras. Biak adalah pintu gerbang udara dan laut ke pulau besar (daratan Papua). Di Biak pula tumbuh gerakan mesianisme yang melahirkan gagasan Papua Merdeka. Tokoh-tokoh OPM 1960-an sampai 1980-an tak sedikit dari Biak, seperti Permenas Awom dan Seth Rumkorem. Rumkorem adalah proklamator Papua Merdeka pada 1 Juli 1971 di Markas Victoria, daerah Waris sekarang. Kata ”irian” yang berasal dari ”iryan” (sinar mentari yang menghalau kabut) dan kata ”papoea” (orang hitam berambut keriting) orang Biak pula yang memopulerkan. Bahkan, bendera Bintang Kejora adalah gabungan mesianisme Biak dipadu bendera Amerika Serikat. Lambang negara Papua yang diperkenalkan pada 1 Desember 1961, Burung Mambruk, juga pengaruh dari Biak.
Saat di SD Negeri 1 Biak antara 1965- 1969, saya mengenal lagu untuk menyambut kedatangan Soeharto ke Biak menjelang Pepera. Di antara bait lagu dalam bahasa Biak itu berbunyi: ”Aryo bapaye Suharto ye… mau be mau be mau rau be mau rau merah putih… kukonbe naiko mambe ka naik” (Presiden kami bapak Soeharto, bendera kami merah putih, akan kami naikkan sampai akhir masa).
Empat peristiwa sejarah
Sesuai Persetujuan New York 15 Agustus 1962, pada 1 Oktober 1962 Irian Barat diserahkan oleh Belanda kepada pemerintahan sementara PBB (UNTEA). UNTEA lalu menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 dan Indonesia wajib melakukan penentuan pendapat rakyat (act of free choice).
Sesuai The Rome Agreement antara RI dan Belanda di Roma menjelang Pepera, kedua negara sepakat Pepera dilakukan dengan sistem perwakilan oleh 1.026 tokoh Papua, bukan one man one vote. Belanda juga menggunakan sistem perwakilan di luar perkotaan saat membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea), April 1961.
Ada empat peristiwa sejarah yang hingga kini masih dipersoalkan orang Papua. Pertama, sistem perwakilan dalam proses Pepera Juli-Agustus 1969 dianggap tidak lazim digunakan oleh PBB dalam proses dekolonisasi. Kedua, butir pertama Trikora yang dicetuskan Presiden Soekarno di Yogyakarta pada 19 Desember 1961 yang berbunyi ”Gagalkan negara boneka Papua bentukan Belanda Kolonial” seakan mengakui manifesto politik 19 anggota Dewan New Guinea di Hollandia (Jayapura sekarang) pada 1 Desember 1961 adalah proklamasi kemerdekaan Papua.
Ketiga, proses indonesianisasi birokrasi pemerintahan di Papua akhir 1960-an, yang menggeser birokrat rendahan orang Papua, sungguh menyesakkan hati. Keempat, tindakan brutal aparat keamanan terhadap rakyat Papua 1963, 1969, 1971, 1984-1985, 2000-2001, bahkan hingga kini telah meninggalkan trauma mendalam di hati sanubari saudara-saudara Papua kita.
Meski kini jabatan-jabatan di puncak pemerintahan daerah seperti gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota di tangan orang Papua, persoalan di atas tetap saja muncul. Otonomi khusus (otsus) yang diterapkan sejak diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Papua tak juga mengurangi kemiskinan di tanah Papua.
Saat saya mengunjungi Papua, 2-7 Juli 2011, tampak jelas adanya kemajuan semu di tanah Papua. Jalan di wilayah perbatasan dengan Papua Niugini seperti di Koya, Arso, Wor-Kwana, Waris, dan Senggi tampak begitu mulus. Namun, bagaimana dengan peremajaan pohon-pohon kelapa sawit yang sudah berumur lebih dari 30 tahun itu? Di Wamena juga tampak pembangunan pusat-pusat pertokoan yang megah untuk ukuran Papua. Jayapura juga ada dua hotel internasional baru, Hotel Aston dan Swiss-Belhotel. Namun, siapa pemilik ruko dan hotel-hotel itu? Tidakkah rakyat Papua masih menjadi penonton dari pembangunan?
Temukan jalan damai
Uang yang digelontorkan ke rakyat secara tunai melalui program otsus, PNPM Mandiri atau program Respek, benar-benar salah arah. Uang bukan untuk membangun sarana dan prasarana kampung, melainkan dibagi-bagi secara tunai. Hati terasa teriris sembilu saat menyaksikan masih banyak orang menggunakan koteka di Wamena, seakan kemajuan tak menyentuh mereka. Sadarkah kita bahwa migrasi dengan ”Kapal Putih” (Pelni) telah menyebabkan orang Papua kini jadi minoritas di Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten Keerom, dan Kota Sorong? Sadarkah kita bahwa orang Marin di Merauke kini tak lagi memiliki tanah? Tak heran jika mereka menolak program Merauke Integrated Food and Energy Estate.
Sadarkah kita bahwa ada dua gerak yang berbeda di Papua saat ini, yakni antara mereka yang berupaya menyatupadukan rakyat Papua—karena itu menolak pemekaran provinsi (Papua dan Papua Barat)—dan Majelis Rakyat Papua menjadi dua atau lebih berseberangan dengan yang menginginkan agar provinsi Papua Barat Daya segera dibentuk. Selain itu, pertarungan antarklan untuk meraih jabatan politik semakin marak, seperti terjadi di Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, dan mulai menyeruak pula di Papua dan Papua Barat menjelang pemilihan gubernur di dua wilayah itu.
Sadarkah kita tiga institusi bersenjata, OPM, TNI dan polisi (khususnya Densus 88), dapat jadi agen yang membakar tanah Papua? Dapatkah dua nasionalisme yang berseberangan, Papua yang ngotot ”kemerdekaan adalah harga mati”, dan Indonesia yang kukuh ”NKRI harga mati” menemukan kata sepakat untuk meningkatkan kualitas otonomi khusus dalam bingkai keindonesiaan dibalut kepapuaan? Pada 1980-an, segala perkembangan di Papua dapat kita baca di Kabar dari Kampung, buletin yang diterbitkan Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa Irian Jaya. Hal-hal yang memilukan bisa juga kita baca di Memoria Passionis terbitan Keuskupan Jayapura.
Kini segala berita buruk soal Papua disiarkan oleh Sekber Sentral Informasi Mahasiswa Papua di Yogyakarta, West Papua Media Alerts dan West Papua TV di London, East Timor and Indonesia Action Network di AS, dan Australia West Papua Association di Adelaide, Australia.
Papua tidaklah semembara yang diberitakan Kompas (8 Agustus 2011). Namun, kita jangan meremehkan aktivitas prokemerdekaan Papua di luar negeri, seperti konferensi yang disponsori The Free Papua Campaign and The International Lawyers for West Papua bertajuk ”The Road to Freedom”, 2 Agustus 2011 di Oxford, Inggris. Kita harus tetap mendukung upaya menemukan jalan damai di tanah Papua demi kesatuan nasional kita.
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset LIPI
Sumber: Kompas.com
Terima Kasih buat Tulisan dari Bapak…Suatu analisa dan pemikiran yang Obyektif untuk Tanah Papua
TUHAN memberkati…