Orang Papua telah lama dikenal dunia sebagai manusia “panas-panas tahi ayam”, sebentar marah, sebentar lagi baik, sebentar ingat, tak lama juga lupa, begitu cepat bereaksi, secepat itupula kembali ke situasi seolah-olah tidak ada apa-apa sama sekali.
Itulah pandangan umum orang lain terhadap bangsa yang bernama “Papua” entah yang ada di sebelah Timur ataupun Barat Pulau New Guiena. “Mereka tampak menyeramkan, tetapi sebenarnya berhati lembut dan sangat memenuhi syarat dijajah dan ditindas,” begitu kata mereka.
Kelakuan itu terwujud dalam berbagai tindak-laku, tutur-kata dan gelagat yang ditampilkan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan itu ialah Kampanye Papua Merdeka. Kalau lebih khusus kita fokuskan perhatian kepada politik, maka tampak sekali kelakuan yang telah lama dicap itu mengemuka, “Sebentar tuntut merdeka, sebentar lagi ikut kampanye Pemilukada, sebentar lagi minta posisi di OPM, tak lama kemudian meminta posisi di pemerintah kolonial.” Bukankah itu kelakuan para pejabat, aktivis, mahasiswa Papua selama ini?
Lebih khusus lagi kita perhatikan isu-isu politik dan gelagat politik Papua Merdeka. Tahun 1961 orang Papua selenggarakan Kongres Rakyat Paupa I, 1961. Tahun 2000 bangsa yang sama, di tempat yang sama diselenggarakan KRP II, 2000. Kini telah muncul lagi wacana penyelenggaraan KRP III, 2011.
Orang yang pandai berpolitik, atau paling tidak belajar tentang atau memperhatikan politik serta secara khusus mengamati politik Papua Merdeka tidak akan bingung dan tidak akan kebakaran jenggot kalau orang Papua mau bikin Kongress setiap hari, atau sekali seminggu, atau sekali sebulan, atau sekali setahun, dan seterusnya. Mereka tidak terlalu pusing. Reaksi mereka justru “Tertawa disertai kasihan!” Mereka bilang,
“Biarin aja, kokh sebentar lagi lupa. Sebentar lagi lupa apa yang dia minta. Sebentar lagi dia lupa diri, kokh. Biarin aja! Lha, nanti besok dia datang minta duit kemari untuk kepentingan politik, biarin dia jungkir-balik. Wong sebentar dia bikin kongres Papua Merdeka, orang yang sama pada hari yang sama akan bikin kogres NKRI harga mati kokh!”
Mau tahu buktinya? Jawabannya kita harus bertanya, “Apa hasil KRP I, 1961? Apa tindak lanjut dariapda hasil itu? Apa yang telah dilakukan para pejabat di dalam Niuew Guinea Raad?” Pertanyaan yang sama untuk KRP II, 2000, “Apa hasil KRP II, 2000? Apa tindak lanjut daripada hasilnya? Apa yang telah dilakukan PDP sebagai pemegang mandat?” Lalu untuk rencana KRP III, 2011 ini juga kita ajukan pertanyaan yang sama, tetapi dengan kalimat pertanyaan tentang yang akan datang, “Apa hasil KRP III, 2011 yang diharapkan? Apa tindak lanjutnya nanti sesudah kongres? Siapa yang akan menindaklanjutinya? Siapa yang akan memegang mandat dan apa yang akan dilakukannya?
Di atas semuanya, perlu kita tanya, “Orang Papua maunya apa sih? Bikin kongres yang bikin kongres, tetapi hasilnya diapakan? Lalu mau bikin kongress lagi, lalu apa hasil dari yang sudah-sudah? Atau sebenarnya orang Papua memang suka berkongres?
Ada tiga versi jawaban, pertama dari orang Papua sendiri, kedua dari orang asing (barat), ketiga dari orang Indonesia. Pertama, orang Papua memang kelakuannya cepat minta merdeka, cepat lupa juga, jadi dia sebenarnya tidak mau tahu-menahu dengan apa bakalan hasilnya dan tindak lanjut daripada kongres itu nanti. Yang dia mau selenggarakan saja Kongres itu, entah itu malaikat atau iblis yang menjadi penyelenggara dia tidak perduli sama sekali. Yang dia pentingkan ialah kongres terjadi. Sampai di situ. Titik.
Kedua merupakan tanggapan dunia luar. Memang sejak lama, sebagaimana biasanya bagi sebuah politik, apalagi politik perjuangan dan politik pembebasan sebuah bangsa dari penjajahan, semua pihak memang sejak dulu menghendaki bangsa Papua mengorganisir diri secara baik, profesional dan modern, sehingga perjuangan ini menjadi layak untuk bermain dalam pentas politik global di era ini. Itu sebabnya sudah lama mereka selalu bertanya, “OPM itu organisasi politik atau militer? Kalau OPM itu bersenjata, siapa yang berpolitik? Kalau OPM itu sebuah organisasi, sebagaimana namanya, lalu sayap militernya apa?” Saat mereka lihat nama TPN dan OPM digabung menjadi TPN/OPM, malah lebih membuat dunia menjadi bingung. Mereka bilang, “Orang Papua ini sebenarnya layak bernegara apa tidak? Organiasi perjuangannya saja disatukan dengan tanda garis miring (/) begitu, nanti setelah jadi negara apa bisa atur negaranya apa tidak? Jangan-jangan pemerintah, militer, politik dan sipil semua diaduk jadi satu, sama dengan organisasi perjuangan mereka yang gado-gado alias banci itu? Apa betul Papua mau merdeka? Apa betul Papua layak merdeka? Apa betul Papua pantas merdeka?
Bukan itu saja, mereka juga memperhatikan gelagat Papua Merdeka yang dijalankan oleh berbagai tokoh, organisasi (faksi) dengan banyak sekali Presiden, banyak Menteri Luar Negeri, banyak Panglima, apalagi banyak Panglima Tertinggi, banyak juga nama organisasi. Tetapi sedihnya, semua organisai itu tidak tertata baik. Lebih sedih lagi, kebanyakan para pemimpin tidak memiliki legitimasi sejarah, pengalaman dan dukungan dari rakyat. Mereka hanya para aktivis, pelarian, pencari suaka, dan lebih parah lagi, banyak punya kasus hukum dan moral di perantauan sana.
Lalu kita lihat ketiga, tanggapan dari orang Indonesia. Orang Indonesia sebanarnya, sebetulnya dan sesungguhnya tidak pusing amat, tidak ambil pusing, masa bodoh dengan apapun yang terjadi di Tanah Papua dan apapun yang diminta, apapun yang dilakukan orang Papua. Alasan utamanya memang Indonesia itu sedang dalam proses pembentukan. Ke-Indonesia-an suku-bangsa di dalam NKRI sendiri masih dalam proses, belum terbentuk, belum lahir. Yang lahir negara Indonesia, tetapi “orang Indonesia” belum ada sampai sekarang. Orang Papua ada, bangsa Papua ada, negara Papua yang diperjuangkan. Sebaliknya, orang Indonesia tidak ada, negara Indonesia ada, bangsa Papua sedang dalam proses pembentukan. Itu sebabnya berapa kalipun kongres diselenggarakan orang Papua, itu tidak penting bagi NKRI.
Alasan kedua, perlu ditegaskan bahwa dalam pandangan Indonesia, Papua sebagai manusia itu tidak ada manfaatnya, tidak dihitung dan tidak dibutuhkan sama sekali, dan pada akhirnya harus punah dari muka bumi. Yang dibutuhkan ialah Papua sebagai tanah. Itulah sebabnya Ali Murtopo pernah bilang kepada Nicolaas Jouwe,
“Kami tidak perlu kamu orang-orang Papua, kami perlu tanah ini. Kalau kamu orang Papua mau bikin negara, bilang kepada Amerika buat carikan tanah di bulan untuk kalian bikin negara, atau minta kepada Tuhan untuk ciptakan Tanah buat kalian merdeka dan tinggal di sana.”
Mumpung Tete Jouwe sudah ada di Kayo Pulo, jadi sebaiknya kita pergi bertanya langsung kepadanya.
Alasan terakhir dari Indonesia ialah, memang Indonesia itu sendiri punya masalah yang sangat, sangat, jauh dan begitu rumit, dalam, luas, lebar, panjang, dan seterusnya. Kalau kita letakkan semua masalah yang ada di wilayah NKRI dan membandingkannya, maka sebenarnya masalah Papua dilihatnya hal sepele. Hal yang lebih parah, lebih berbahaya, lebih merugikan secara finansial dan politik ada di luar Tanah Papua. Dan dari semua itu, saat ini Indonesia sedang jatuh-bangun membenahinya. Belum sempat membenahi, Indonesia terlilit hutang luar negeri. Belum itu Indonesia dilanda masalah TKI, masalah transmigrasi, masalah Flu burung, masalah kebakaran, masalah pesawat jatuh, masalah kapal tenggelam, masalah korupsi, dan seterusnya, dan sebagainya. Di tengah-tengah itu, orang Papua non-jauh, orang telanjang yang politiknya juga panas-panas tahi ayam, yang sebentar minta merdeka lalu besok minta uang itu perlu diberi waktu untuk berpikir, dan berdialogue? Apalagi mempertimbangkan kemerdekaannya? Saaaaaaaabar dulu!
Di antara ketiga jawaban diserta alasan jawaban mereka serta latarbelakang pemikiran tadi, kita perlu tanyakan kepada penyelenggara KRP III, 2011:
1. Apa tujuan KRP III, 2011, minta hak-hak dasar? Hak-hak dasar apa? Tambah uang, tambah otsus, tambah pejabat, tambah tentara, tamba apa?
2. Siapa yang suruh bikin kongres ini? WPNA? PDP? Nieuw Guinea Raad? OPM? WPNCL? WESTPANYET? KNPB? Demmak? TPN.PB? TPN/OPM? TRWP?
3. Siapa yang berikan dana penyelenggaraan KRP: Indonesia, lewat Fransalbert Joku? Indonesia lewat Jaringan Damai Papua alias Neles Tebay?, orang asing?
4. Siapa yang akan menghadiri Kongres ini?
5. Apa tindak lanjutnya?
Kalau kita hanya bertujuan menuntut hak-hak dasar orang Papua, kalau kita hanya bertujuan mencari muka dan melegitimasi organisasi liar yang tidak punya catatan sejarah dan pengalaman dalam perjuangan Papua Merdeka, kalau kita hanya disuruh aktivis dan orang asing yang tidak bertempat-tinggal dan berjuang di atas Tanah New Guinea, maka jelas dan pasti, nasib KRP III, 2011 dan nasib KRP-KRP sebelumnya tidak akan berbeda. Semua kembali kepada penilaian orang lain terhadap bangsa ini, “Sebentar minta merdeka, sebentar minta posisi, kokh tidak lama lagi akan lupa, tidak lama lagi akan lupa diri.” Begitu, bukan? Pak Franslabert Joku?
Sebenarnya kamu siapa? kalau kamu orang Papua kenapa tidak mau bertindak, memang realitas seperti itu. kita harus sadar dan meminta terimakasih karena orang lain mau melanjutkan perjuangan ini rakyat Bangsa Papua, coba Anda renungkan mengapa orang Papua kedaulatan? kami sadar Anda punya komentar,tetapi kamu manusia yang tahu diri akan situasi Bangsa maka kami mau satu bangsa ini kembali alamnya sendiri, jadi sebaiknya Anda hars mendukung apa pun perjuangannya dan jangan Anda kecewa, dan kecewa itu hal bisa karena kita belajar dari kesalahan. Kongres Papua III buat karena ini agenda rakyat,bukan angenda organ atau pribadi dan Anda perlu mendukung dan harus bijaksana. Mari kita kerja karena kita belum buat apa-apa.
Ya, dari admin mengutip lagi reaksi atau tanggapan orang Papua atas KRP III, 2011,
“Pertama, orang Papua memang kelakuannya cepat minta merdeka, cepat lupa juga, jadi dia sebenarnya tidak mau tahu-menahu dengan apa bakalan hasilnya dan tindak lanjut daripada kongres itu nanti. Yang dia mau selenggarakan saja Kongres itu, entah itu malaikat atau iblis yang menjadi penyelenggara dia tidak perduli sama sekali. Yang dia pentingkan ialah kongres terjadi. Sampai di situ. Titik.”
Dan bandingkan dengan tanggapan Anda! Sama, bukan?
Nah, mentalitas seperti ini justru tidak lihai dalam melihat, “Siapa yang bermain?” dan “Siapa yang nanti dikorbankan?”