
Komentar seorang pembaca berita di Vivanews.com berisi 04/08/2011. ini menanggapi pendapat AM Hendropriyono bahwa Papua dapat diberikan peluang untuk referendum, tetapi referendum dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia tentang kemerdekaan Papua. Tanggapan atas pendapat ini menunjukkan berbagai warna yang perlu dicermati orang Papua. Ada yang menolak mentah-mentah, ada yang beringas, ada yang menyalahkan pemerintah pusat, ada yang menyalahkan keterlibatan orang asing, tetapi ada juga yang mendukung Papua Merdeka.
Dibandingkan dengan komentar-komentar yang ada dari pembaca di bintangpapua.com, papuapos.com atau cenderawasihpos.com, yang rata-rata menggunakan bahasa Indonesia sangat amatir, kasar, kotor karena yang memberi komentar itu anggota prajurit NKRI yang rata-rata dipaksa beroperasi di Papua karena berpendidikan sangat minim, dengan pengetahuan tidak ada harapan untuk berkembang, dan dengan alasan agar kariernya tidak akan ke tingkat menengah, jadi kalau ditembak mati juga tidak rugi, karena tidak ada harapan maju dalam kerier militer. Komentar mereka di sini sangat berbeda dengan berbagai komentar pembaca yang muncul di Indonesia yang pengetahuannya sudah maju dan luas dengan yang harapan kariernyapun gemilang.
Banyak yang pro-NKRI. Banyak juga yang menyarankan TNI/Polri sapu bersih perjuangan Papua Merdeka, bila perlu dengan perang terbuka, biarpun dianggap melanggar HAM, toh itu urusan rumahtangga NKRI. Ada unsur kebencian di dalamnya, entah atas dasar rasisme/fasisme, fundamentalisme religius atau nasionalisme fundamentalis alias nasionalisme butahuruf. Kebanyakan penganut nasionalis butahuruf ialah keturunan pejuang NKRI merdeka atau karena ia sendiri tidak dicintai di dalam negaranya NKRI, atau karena ia anggota prajurit NKRI.
Ada yang menyalahkan pemerintah pusat, karena dianggap ketertinggalan Papua dari wilayah lain di Indonesia mendorong dan memupuk tuntutan dan gerakan kemerdekaan. Sebagai jalan keluar mereka sarankan agar pemerintah serius memperhatikan dan mengurus tanah Papua. Ada juga yang menyalahkan pemerintah pusat.
Sama dengan mereka, tetapi lebih kompromistis terhadap tuntutan Papua Merdka. Mereka MEMAHAMI bahwa tuntutan Papua Merdeka itu wajar, dan bisa dapat diterima, tetapi mereka memohon agar orang Papua janganlah begitu. Mereka mengedepankan pendekatan kasih-sayang, sebagai sebangsa dan setanah air, “maksud sebenarnya senegara-bangsa, bukan sebangsa dan bukan setanah air.”
Yang lain punya argumen bahwa sejarah penjajahan TImor Leste berbeda daripada sejarah penjajahan di tanah Papua. Oleh karena itu tuntutan kemerdekaan tidak masuk akal dan akhirnya tidak akan merdeka juga, jadi tidak perlu ditanggapi serius. Biarkan saja tentara dan polisi NKRI berurusan dengan orang-orang yang memberontak itu. Toh akhirnya akan dibasmikan tuntas juga.
Dengan alasan ini dan alasan lainnya, ada juga menyatakan kita ini saudara sebangsa-setanah air, jadi kalau Anda tidak diperhatikan tolong berteriak lebih keras, tetapi tidak menuntut merdeka. Mereka melihat ke Amerika Serikat dan mengimpikan sama seperti Barak Obama tampil sebagai sebuah jalan tengah di tengah keruntuhan kapitalisme neoliberal itu, dan ditengah-tengah kebencian umat manusia yang mendidih terhadap negera itu dan menyatakan orang Papua dapat bertindak sebagai penyelamat dan penyeimbang, menjadi solusi terhadap berbagai masalah di Indonesia.
Agak mirip dengan itu, yaitu masih mengedepankan alasan kemanusiaan, tetapi dengan cara membandingkan dengan Timor Leste. Kata mereka, “Timor Leste yang sudah merdeka dari Indonesia aja tidak lebih makmur, malah mereka lebih melarat. Untuk apa merdeka, wong Papua sudah merdeka 17 Agustus 1945 kok? Apa mau bernasib sial sama dengan orang Timor Leste?”
Yang agak ekstrim menyatakan “Papua sudah merdeka, tanggal 17 Agustus 1945. Oleh karena itu yang minta merdeka sekarang itu bohong, itu orang frustrasi, orang yang dipolitisir oleh kepentingan asing, orang yang terlanjur terjun dan sedang mencari makan dengan cara menjual-belikan isu Papua Merdeka.
Yang lebih ekstrim bilang, “NKRI harga mati! Basmikan para pemberontak, separatis Papua Merdeka. Sapu bersih OPM!” Mereka ini orang-orang Indonesia nasionalis fundamentalis, yang dalam istilah lain disebut fundamentalis butahuruf, yaitu butahuruf dalam pemahaman makna nasionalisme Indonesia.
***
Bersambung dari semua ini, perlu dicatat fakta yang ada di Indonesia. Jangan berpikir bahwa semua orang Melayu menolak Papua Merdeka. Bangsa Melayu dan Melanesia memang sudah menjadi tetangga sejak puluhan ribu bahkan ratusan ribu tahun lalu. Keduanya juga sudah sama-sama mengalami pahitnya menjadi orang di dalam negara bernama Indonesia. Karena mereka punya tolok ukur dan alat banding. Mereka membandingkan bangsa Melayu di Malaysia dan Singapore serta Brunai Darusalam dan punya kesimpulan yang tepat mengenai nasib bangsa Melayu di dalam NKRI.
***
Sebenarnya banyak orang Melayu di dalam NKRI yang tidak pernah meras bangga, malahan merasa malu menjadi orang yang dilahirkan di dalam batas wilayah Indonesia. Mereka merasa iri terhadap saudara-saudara sebangsa mereka yang lahir di Malaysia dan Singapore serta Brunai Darusalam. Kebanyakan dari mereka tidak pernah mengakui mereka dari Indonesia. Mereka lebih bangga mengakui diri sebagai orang Malaysia, Singapore dan Brunai Darusalam karena ketiga negara bangsa Melayu itu memang patut dibanggakan, dari sisi politik, ekonomi dan sumberdaya manusianya. Mengakui diri sebagai orang Melayu Indonesia sebenarnya sama saja dengan merendahkan martabat bangsa Melayu. Bukan merasa malu saja, malahan ada yang merasa terhina, karena Melayu tidak se-terhina keterhinaan Indonesia. Indonesia sebagai sebuah identitas negara-bangsa telah membuat bangsa Melayu di Indonesia sulit menentukan sikap.
Dengan perbandingan-perbandingan ini, mereka tahu, dari lubuk hati terdalam, bahwa menjadi atau dijadikan, atau terjadikan sebagai orang Indonesia memang sebuah nasib sial. Mereka tahu bahwa nasib orang Melayu di wilayah negara bernama Indonesia ialah nasib yang tidak pernah mereka akan terima kalau mereka ditanya.
Oleh karena itu, mereka melihat sebuah cahaya lilin di tengah kegelapan hidup dan nasib NKRI kalau melihat orang Papua menuntut kemerdekaan. Karena mereka tahu tepat, dengan kemerdekaan West Papua, maka lampu lilin di tengah malam itu akan berubah menjadi lampu petromax, lalu lampu listrik, lalu akhirnya mataharipun akan terbit, dan dengan demikian gelap-gulita nasib di dalam NKRI itu akan berakhir.
Itulah sebabnya orang Melayu suku Makassar, Bugis, Toraja dan Manador, orang Melayu suku Bali, orang Melayu suku Dayak, orang Melayu suku Sunda dan Madura, orang Melayu suku Betawi, orang Melayu suku Batak dan Minang, dan sebagainya, kalau seandainya saja ditanya pada hari ini, kemungkinan lebih besar mereka akan memilih keluar dari lubang buaya bernama “Indonesia”. Mereka akan bilang, “Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang, .”
Di mana negeri orang? Di mana negeri sendiri? Maksudnya jelas bukan negeri Indonesia, karena Indonesia itu bukan nama negeri. Bukan tanah air Indonesia, karena Indonesia bukan nama tanah air. Itu nama sebuah negara-bangsa, yang didirikan atas “impian” imperialisme Pan Indonesia Raya. Itulah sebabnya dengan secara mati-matian mematikan dan melengserkan Mohamat Hatta yang mengusulkan mengatur negara Indonesia secara demokratis ala Melayu sejak awal. Negeri mereka ialah Nangroe Acheh Dussalam, Tanah Minang, Tana Toraja, Tanah Jawa, Tanah Sunda, Tanah Betawi dan seterusnya. Mereka lebih baik hidup dihujani batu di negeri mereka sendiri, daripada direndam dalam kolam emas di negeri yang tidak pernah ada bernama Indonesia itu.
Itulah sebabnya ada saja orang Melayu yang tidak banggsa bernegara Indonesia. Mereka lebih bangga dan akan berterimakasih kalau pulau mereka, provinsi mereka, suku mereka, yaitu tanah air mereka, negeri mereka itu, diberi kemerdekaan, agar kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi bersama sesama bangsa Melayu dan dengan Melanesia. Itulah sebabnya negara pendiri NKRI, Kerajaan Jawa Yogyakarta menuntut keluar dari negara yang dibentuknya sendiri itu. Itulah sebabnya orang Makassar pernah memproklamirkan kemerdekaannya. Itulah sebabnya orang Sunda masih mengimpikan kemerdekaan bangsa Melayu Sunda.
Itulah sebabnya, ada orang Melayu menyatakan, “Dari Borneo untuk Papua: Demi Keadilan dan Pemerataan, Selamat berjuang Papua…!!!”
Kalau Anda baca artike ini: http://papuapost.com/?p=4064
Yang tidak ada, manusia Papua.
kontol lu orang yang mau keluar dari bangsa indonesia>>>NKRI harga mati bung setan tempik itil gawuk orang yang mau memberontak
Mas, tidak dengan emosi, waktu indonesia berjuang menentang belanda juga Anda patriotis demi membela NKRI, sama halnya dong. Jangan mau menang sendiri kalau jadi orang, daripada terus kena tulah, sebaiknya bertaubat di BUlan Ramadhan ini, kalau tidak hukum Allah telah menimpa-mu.