Jakarta – Keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 kembali digugat. Asal muasal landasan bersatunya Papua dengan Indonesia itu dianggap cacat dan tidak sah berdasarkan hukum internasional.
Gugatan dilakukan ribuan masyarakat asli Papua saat menggelar demo di sejumlah kota pada 2 Agustus 2011. Soal tidak sahnya Pepera juga dibahas dalam konferensi International Lawyers for West Papua (ILWP) di Universitas Oxford, London, pada hari yang sama.
Kelompok yang menuntut referendum ini menilai Pepera dilakukan secara sepihak oleh Indonesia. “Bukti-bukti sejarah Pepera 1969 dari dokumen PBB benar-benar mencoreng wajah PBB,” kata Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Maco Tabuni.
Seperti apa sebenarnya Pepera 1969? Pepera sendiri digelar dari 24 Juli sampai dengan Agustus 1969. Pepera ini digelar di bawah pengawasan PBB. Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz bersama-sama 16 orang pengawas PBB lainnya mengawasi Pepera ini.
Pada 23 Agustus 1968, Ortiz Sanz tiba di Papua. Ditemani 8 Pejabat resmi Indonesia yang dipimpin oleh Sudjarwo Tjondronegoro, perwakilan Jakarta untuk Papua itu, Ortiz San berkeliling Papua selama 10 hari.
Usai pengawasan ke Papua, Ortiz membuat laporan untuk Sekjen PBB U Thant, yang isinya memuji Indonesia atas usaha yang dilakukan untuk memajukan Papua. Ia juga melaporkan prinsip “satu orang satu suara” dalam referendum tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk asli Papua.
Pepera akhirnya dilaksanakan di 8 Kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Peserta Pepera adalah 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa.
Hasil dari Pepera semua peserta memilih dan menandatangani dengan suara bulat Papua merupakan bagian mutlak dari Indonesia.
Keabsahan Pepera juga diakui dunia dengan keluarnya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969. Dalam sidang itu, 82 negara setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju menyatakan tidak setuju atas keabsahan Pepera Papua.
“Hasil Pepera itu sah sesuai New York Agreement 1962 dan Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505,” tegas Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq.
Bila kini masalah Pepera kembali dipersoalkan, bangsa di Indonesia semestinya bersikap tenang dan tidak perlu bersikap terlalu reaktif. Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengungkapkan Papua hanya merupakan salah satu dari puluhan masalah demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di dunia yang kerap dipermasalahkan dalam diskusi ataupun seminar.
Selain Papua juga yang selalu disorot adalah masalah suku Amazon di Brasil, Kashmir di India yang digugat Pakistan sejak tahun 1947, konflik Palestina dan Israel dan soal Tibet di Republik Rakyat Tiongkok ata China (RRT).
“Papua itu selalu menjadi masalah aktual dari waktu ke waktu, mulai tahun 1960-an dari Soekarno sampai dengan sekarang. Akan terus terjadi gejolak sewaktu-waktu, betapapun bagusnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah,” kata Juwono.
TB Silalahi yang pernah menangani Papua di masa Soeharto selama lima tahun mengungkapkan internasionalisasi masalah Papua dilakukan segelintir orang saja. Pelakunya adalah orang Papua di luar negeri, baik secara sendiri atau melalui Melanesian Brotherhood, suatu kelompok yang menghimpun etnis Melanesia di Pasisfik Selatan, seperti PNG, Fiji, Vanuatu dan Kepulauan Samoa atau Samoa Amerika.
“Mereka ini sebenarnya kecil kelompoknya, tapi selalu lobbying di kongres AS, Inggris dan negara Eropa lainnya. Tapi memang dulu sampai sekarang sebatas wacana, gitu-gitu aja,” kata TB Silalahi yang kini menjadi staf khusus SBY untuk Timur Tengah dan Negara Pasifik Selatan itu.
Pemerintah sendiri mengutamakan prinsip tidak mau NKRI terpecah dalam menghadapi tuntutan referendum Papua. “Jadi kita ingatkan kepada siapa saja jangan sekali-kali ingin mengubah NKRI,” kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Purnomo menyatakan, proses hukum tetap menjadi acuan utama dalam menyelesaikan masalah Papua. Yang terbukti makar akan ditindak.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti mengingatkan pemerintah agar melakukan langkah antisipasi yang tepat terhadap gerakan prokemerdekaan Papua.
Gerakan prokemerdekaan Papua saat ini mulai bermain cantik. Mereka tidak lagi menggunakan cara kekerasan, tapi sudah menggunakan cara politik dan diplomasi internasional.
Pemerintah pusat hendaknya tidak menganggap sepele persoalan gerakan separatisme di Papua dengan anggapan bisa diselesaikan dengan pendekatan hubungan antarnegara, seperti Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat, atau dengan Pemerintah Inggris dan Pemerintah Australia.
“Politik internasional itu tidak hanya ditentukan oleh hubungan antara pemerintah dengan pemerintah, tapi juga oleh aktor-aktor nonnegara yang turut berperan,” kritik Ikrar.
(iy/nrl)