Laporan setebal 25 halaman yang dibuat Agustus 2007 atau 13 tahun silam itu di bagian akhirnya tercantum nama Lettu (Inf) Nur Wahyudi sebagai Danpos Satgas Ban-5 Kopassus Pos I Kotaraja.
Didalamnya ada sederet nama para aktivis yang menurut pengakuan mereka dijadikan “target operasi”, namun dari dokumen yang berhasil di peroleh Bintang Papua dari blog berbahasa Inggris milik Alan Nairm jurnalis Amerika Serikat yang pertama kali mempublikasikan dokumen tersebut, nama – nama aktivis dimaksud tidak lebih dari daftar para aktivis yang berdomisili di wilayah Kotaraja dan sekitarnya yang getol menyuarakan ketidakadilan, pelanggaran HAM, dan mengkritisi Pemerintah, dan sama sekali tidak ada perintah untuk membungkam mereka semua.Dan buktinya nama – nama yang tercatat di dalam dokumen yangdikeluarkan 13 tahun lalu itu, hingga kini orang – orangnya masih segar bugar dan tetap menjalankan aktivitas mereka, memperjuangkan ketidakadilan yang diterima oleh orang Papua selama ini.
“Adapun nama tokoh – tokoh gerakan sipil dan politis vokal yang berdomisili di Kotaraja dan sekitarnya, antara lain :
- Pdt. Socrates Sofyan Yoman (Ketua Gereja Baptis Papua),
- Markus Haluk.(Sekjen AMPTI),
- Buchtar Tabuni (Aktivis),
- Aloysius Renwarin, SH.(Ketua Elsham)
- , DR. Willy Mandowen.(Mediator PDP),
- Yance Kayame (Ketua Komisi A DPRP),
- Lodewyk Betawi,
- Drs.Don Agustinus
- Lamaech Flassy MA (Staf Ahli PDP),
- Drs. Agustinus Alue Alua (Ketua MRP),
- Thaha Al Hamid.(Sekjen PDP),
- Sayid Fadal Al Hamid (Ketua Pemuda Muslim Papua),
- Drs.Frans Kapisa.(Ketua Solidaritas Nasional Mahasiswa Papua),
- Leonard Jery Imbiri,S.Pd.(Sekretaris Umum DAP),
- Pdt.DR.Benny Giay.(Pdt KINGMI Papua),
- Selfius Bobby (Mahasiswa STT Fajar Timur)”,
Demikian tertulis pada halaman 6 Laporan Triwulan I Pos Kotaraja yang berhasil diperoleh Bintang Papua. Yang kemudian dilanjutkan dengan daftar nama
Tokoh Adat (Ondoafi), dan Tokoh Masyarakat yang berdomisili di seputar wilayah Kotaraja dan sekitarnya, lengkapnya dalam laporan tersebut tertulis, “Adapun nama tokoh adat, tokoh masyarakat yang berdomisili di Kotaraja dan sekitarnya antara lain :
- Ramses Ohee (Ondoafi Waena),
- Jhon Mebri (Ondoafi Yoka, Daulat Frengkiw (Ondoafi Nafri), dan
- George Awi (Ondoafi Enggros).
Selain itu juga dilaporkan secara lengkap daftar kantor instansi pemerintah, sarana pendidikan, sarana ibadah, pusat – pusat ekonomi dan perbelanjaan, daftar parpol, dan komposisi dan jumlah penduduk di Jayapura secara umum berdasarkan suku bangsa, yang kesemuanya data tersebut terangkum dalam Bagian Keadaan dan Kondisi Daerah Operasi Satgas Ban-5 Pos I Kotaraja, termasuk daftar 6 orang anggota Satgas Ban-5 yang bertugas. Mulai dari awal sampai akhir laporan setebal 25 halaman itu, sama sekali tidak ada instruksi secara halus maupun tersamar, apalagi tegas yang bertujuan untuk “membungkam” apalagi menghabisi para aktivis yang pro Merdeka, maupun yang getol menyuarakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat di Papua dan aktivis yang vokal mengkritisi Pemerintah.
Lembar pertama laporan itu pada kop-nya tertulis dengan huruf balok SATGAS BAN – 5 POS I KOTARAJA, yang disambung dengan judul laporan dengan huruf balok juga “LAPORAN TRIWULAN I POS KOTARAJA, sedangkan sistematika penulisannya terdiri dari Pendahuluan, Keadaan, Tugas Pokok, Konsep Operasi, Pelaksanaan, Prediksi kedepan, Hambatan dan cara Mengatasi, serta Kesimpulan dan Saran. Adapun maksud dari penyusunan Laporan Triwulan tersebut seperti tercantum pada halaman 1 adalah memberikan gambaran, masukan dan laporan tentang kegiatan yang telah dan yang akan dilaksanakan oleh anggota Pos Kotaraja dalam mengimplementasikan tugas pokok Satgas Ban -5, dengan tujuan sebagai bahan masukan kepada Dan Satgas Ban – 5 Kopassus agar mengetahui situasi dan kondisi di daerah Kotaraja, kegiatan anggota Pos Kotaraja serta kegiatan kelompok Gerakan Sipil Politis/Bersenjata di seputaran Kotaraja.
Dalam laporan itu juga dilaporkan beberapa strategi dan pola pendekatan yang dilakukan oleh Satgas untuk meredam dan meminimalisir berkembangnya paham separatisme yang mengancam keutuhan negara yang terus di dengungkan oleh tokoh – tokoh Papua, dimana mereka mencoba mengidentifikasi pola gerakan, paham ideologi, kelemahan, kekuatan, serta pihak – pihak yang bisa dijadikan “kawan” untuk mematikan ideologi separatisme dimana kesemua laporan itu terangkum dalam halaman 8 dengan judul Keadaan Musuh.
Sebagaimana pengakuan Forkorus pada media ini Senin (15/11) bahwasanya selain ia merasa di mata – matai oleh intelijen, saat ini juga beredar sejumlah uang yang bertujuan untuk melenyapkan dan membungkam kevokalannya, dan itu diperkuat dengan informasi bocornya dokumen operasi Kopassus yang menurut pengakuan Forkorus sendiri ia belum melihat secara langsung dokumen tersebut dan hanya mendengarnya dari beberapa rekan yang sudah membaca lansiran beberapa media online atas blog Alan Nairm di, jurnalis Amerika Serikat yang mempublikasikan dokumen itu. Menurut Andi Widjajanto Direktur Executive Pacivis UI dalam bukunya berjudul Panduan Perancangan Undang – Undang Intelijen Negara yang diteribitkan 2006 lalu, bahwa semestinya dalam melakukan kegiatan-kegiatan intelijen, alat negara tidak boleh melanggar hak-hak dasar (non-derogable rights) meliputi:
(a) hak untuk hidup; (b) hak untuk bebas dari penyiksaan;
(c) hak untuk bebas dari perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi;
(d) hak untuk bebas dari perbudakan;
(e) hak untuk mendapatkan pengakuan yang sama sebagai individu di depan hukum; dan
(f) hak untuk memiliki kebebasan berpikir, keyakinan nurani, dan beragama.
Sehingga kegiatan mematai – matai atau memantau setiap kegiatan politis apalagi yang menjurus kepada makar yang dikhawatirkan mengganggu keutuhan suatu negara adalah tindakan legal sama seperti hak kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum yang diberikan negara kepada warga sipil. sepanjang tidak melanggar hak – hak dasar manusia, dan itu terjadi di semua negara yang menganut azas demokrasi. Peraturan terakhir yang diberlakukan terhadap intelijen nasional adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2004. Untuk fungsi koordinasi semua kegiatan intelijen, Badan Intelijen Negara (BIN) berpegang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2002, sedangkan terkait Komunitas Intelijen Daerah (KID) yang saat ini terbentuk di semua tingkat kabupaten merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 11 Tahun 2006. (Bersambung)