Catatan WPMNews:
Yang akan terjadi mulai tanggal 3 Septembear ialah pertemuan rutin Masyarakat Adat sedunia dan Komisi lain yang biasanya menyelenggarakan “hearing” tentang berbagai persoalan di dunia pada “open sessions”, atau sesi-sesi terbuka, di mana tidak ada tempat untuk diskusi atau mengambil kesimpulan untuk jalan keluar, tetapi hanya menyampaikan gambaran situasi daerah, bangsa, kelompok, induvidu di berbagai tempat dan negara di muka Bumi. Laporan-laporan ini dapat, tidak harus, tetapi dapat diteliti lebih lanjut oleh Forum Permanen Masyarakat Adat atau sub-sub Komisi PBB, ang kemudian dapat diajukan sebagai CONTOH KASUS untuk menyelesaikan berbagai masalah di DUnia. Jadi tidak ada sorotan isu-isu khusus untuk wilayah, organisasi tertentu.
Sebagai tambahan, Open Sessions sudah berlangsung lebih dari 40 tahun lamanya, masalah-masalah yang masuk bertumpuk sedemikian tebalnya sehingga begitu sulit untuk mencarikan jalan keluar per kasus, kecuali per contoh kasus, di mana dicarikan modus operandi dan formulasi metode penyelesaian sebagai patokan untuk kasus-kasus di seluruh dunia.
Walaupun begitu, memang ada perkecualian, di mana kasus itu kalau dianggap ‘extra-ordinary’, maka dapat dibentuk Tim Ahli yang menangani dan menelaah kasus dimaksud secara mendalam, yang kemudian masih diajukan ke sub Komisi sebelum ke Komisi dan akhirnya ke Sidang Umum.
Secara teori dan praktek konvensional, Sidang Umum PBB hanya dihadiri oleh ANGGOTA PBB, tidak ada tempat bagi organisasi, apalagi organisasi pemberontak menentang negara, yang notabene adalah anggota dari PBB itu sendiri.
Yang dimaksud dalam artikel ini adalah kehadiran dan waktu bicara bagi ILWP dan IPWP dalam Open Sessions Permanent Forum on Indigenous Issues/ Populations atau mungkin dalam Minority Rights, yang merupakan bawahan dari Komisi HAM, di bawah Sub-Komisi ECOSOC dan SIPOL.
Mekanisme penyampaian masalah dan pengambilan keputusan tidak semudah itu. Tetapi itu tidak berarti tidak ada jalan. Jalan selalu dan pasti ada. Kiprah ILWP dan IPWP adalah langkah yang dirintis untuk menuju ke sana.
WPMNews chief Editor
===================
JAYAPURA – Ratusan masyarakat Papua yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melakukan aksi demo damai di halaman Kantor DPRP, Rabu (1/9) kemarin.
Demo ini adalah salah satu langkah kesekian kalinya dari masyarakat Papua untuk menyatakan sikap, artinya ingin meluruskan sejarah pada agenda kongres Papua II.
Aksi demo damai yang banyak menyita perhatian masyarakat khususnya pengguna jalan raya ternyata membuat sedikit arus lalulintas macet dari sepanjang Skyland, pasalnya ratusan massa itu menggunakan sepeda motor dan 15 truk dari arah Abepura menuju DPRP.
Dalam aksi demo yang dikawal anggota Polresta Jayapura itu berlangsung tertib bahkan sesampainya di halaman Kantor DPRP, massa langsung menggelar berbagai orasi dari kelompok-kelompok masyarakat.
Dalam kesempatan usai memberikan orasinya, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut mengatakan, dari sudut hukum Internasional bahwa Indonesia telah menganeksasi bangsa Papua Barat. Artinya pencaplokan atau pengambilalihan suatu daerah jajahan dengan dalih sejarah dan kekeluargaan.
“Ini yang dilakukan untuk bangsa Papua bukan integrasi, meskipun memang berbeda tipis antara aneksasi dan integrasi. Pepera follow up dari aneksasi sehingga ini yang sekarang sedang diperjuangkan oleh Bangsa Papua dan kami tidak asal perjuangkan setengah-setengah,” ungkapnya kepada wartawan di sela-sela aksi demo damai KNPB di Halaman kantor DPRP, Rabu (1/9) kemarin.
“Kami datang untuk memberikan dukungan IPWP dan ILWP yang sudah mendapat sesi bicara di dalam sidang umum PBB tahun 2010 yang akan dimulai tanggal 3 September 2010. Kami datang menyampaikan itu secara sopan dan mempunyai etika sopan santun dan kami yakin bahwa Indonesia tidak akan menyetujui dan meneruskan ini. Kami adalah manusia dan suatu bangsa. Kami mengetahui mekanisme,” tegasnya.
Oleh karena itu, pihaknya membangun etika sopan santun untuk menyampai secara baik-baik lewat mekanisme lembaga-lembaga Indonesia yang ada di tanah Papua untuk menyampaikan bahwa ini bukan rahasia bahwa perjuangan rakyat Papua diluar negeri sudah berjalan. “Tidak ada yang membuat rahasia dan hanya orang-orang tertentu yang membuat rahasia. Sekarang dunia sudah tahu dan materi gugatan Aneksasi dan Pepera sudah siap,”tukasnya.
Menurut Forkorus, dulu mungkin orangtua Papua kurang pengetahuan tapi sekarang tidak, karena masyarakat Papua sudah tahu bahwa hak masyarakat Papua dilanggar sehingga harus membenarkan itu.
Menyoal sikap DPRP, lanjut Fokorus, DPRP, Gubernur dan para bupati serta walikota di dalam mekanisme NKRI sudah ada sumpah janji supaya setia kepada NKRI namun pihaknya tidak memaksa dan menghargai itu.
Sementara dalam orasi politik saat aksi demo berlangsung menyatakan sikap prinsip bangsa Papua untuk memisahkan diri dari NKRI, sebab ini nilai bobot politik dengan prinsip HAM dan demokrasi dengan prinsipnya dijamin. Selain itu, kemerdekaan bangsa Papua siap untuk memisahkan diri dari NKRI merupakan harga mati dan tidak perlu tawar menawar untuk kepentingan NKRI.
“Otsus adalah illegal dan tidak berlaku bagi Propince of West Papua. Soal kegagalan otsus tersebut maka harus dicabut dan memang gagal total,” koar salah satu orang yang berorasi.
Selain itu, suara bangsa Papua mendesak supaya segera mengakui tuntutan dan kedaulatan bangsa Papua untuk referendum atau penyerahan tanpa syarat. (nal/fud)
Sekarang ini sebenarnya sudah saatnya untuk semua orang Papua memberikan Dukungan Dana kepada perjuangan IPWP dan ILWP, bukan putar-balik di tempat baru bicara ke sana kemari tentang beli senjata dan perang gerilya. Masa untuk gerilya dan angkat senjata di hutan rimba sudah hampir setengah abad lamanya dan korban yang jatuh sudah cukup, lebih dari cukup untuk membayar kemerdekaan West Papua.
Kekurangan sekarang adalah dukungan dana untuk perjalanan dan kerja-kerja Hukum serta Politik ILWP dan IPWP. IPWP itu lembaga politik, untuk lobi–lobi politik di tingkat antarbangsa, sementara ILWP untuk menggali dan menggugat kasus hukum, yang perlu ditangani oleh para ahli dan praktisi hukum internasional kawakan dunia, yang PASTI dan AKAN duduk mengerjakan kasus ini HANYA KALAU DIBAYAR. Tanpa dibayar, mana mereka mau kerja?
Memang mereka tahu kasus hukum dan kasus politik, tetapi mereka sebagai individu, sebagai kepala keluarga, sebagai ibu rumahtangga, punya kebutuhan hidup dalam kondisi masyarakat modern, jadi kita tidak bisa jalan kesana kemari minta bantu tanpa imbalan sedikit.
Mari kita belajar untuk berjuang secara profesional, yaitu dengan secara organisasi terstruktur, terprogram, teranggarkan, dan dijalankan oleh orang-orang yang profesional pula, tidak sporadis, tidak timbul-tenggelam, tidak plin-plan.
Wassalam!@
Sekarang ini sebenarnya sudah saatnya untuk semua orang Papua memberikan Dukungan Dana kepada perjuangan IPWP dan ILWP, bukan putar-balik di tempat baru bicara ke sana kemari tentang beli senjata dan perang gerilya. Masa untuk gerilya dan angkat senjata di hutan rimba sudah hampir setengah abad lamanya dan korban yang jatuh sudah cukup, lebih dari cukup untuk membayar kemerdekaan West Papua.
Kekurangan sekarang adalah dukungan dana untuk perjalanan dan kerja-kerja Hukum serta Politik ILWP dan IPWP. IPWP itu lembaga politik, untuk lobi–lobi politik di tingkat antarbangsa, sementara ILWP untuk menggali dan menggugat kasus hukum, yang perlu ditangani oleh para ahli dan praktisi hukum internasional kawakan dunia, yang PASTI dan AKAN duduk mengerjakan kasus ini HANYA KALAU DIBAYAR. Tanpa dibayar, mana mereka mau kerja?
Memang mereka tahu kasus hukum dan kasus politik, tetapi mereka sebagai individu, sebagai kepala keluarga, sebagai ibu rumahtangga, punya kebutuhan hidup dalam kondisi masyarakat modern, jadi kita tidak bisa jalan kesana kemari minta bantu tanpa imbalan sedikit.
Mari kita belajar untuk berjuang secara profesional, yaitu dengan secara organisasi terstruktur, terprogram, teranggarkan, dan dijalankan oleh orang-orang yang profesional pula, tidak sporadis, tidak timbul-tenggelam, tidak plin-plan.
Wassalam!@