Rereferendum ‘Berakar’ Otsus

Demo damai berjalan kaki ke DPRP untuk mengembalikan UU Otsus. (Foto/Jubi : Saut Marpaung)

Otsus ada karena perjuangan bersama orang Asli Papua. Hasilnya hanya untuk segelintir orang. Siapa yang jadi pecundang?

JUBI — Pagi Rabu 8 Juli 2010. Cuaca Kota Jayapura dan sekitarnya terlihat cerah. Hari itu tidak seperti biasanya, para pekerja  telihat lebih cepat menuju kantor. Sementara, angkutan umum tampak tak terlalu sibuk memburu penumpang. Para sopir taksi   lebih memilih parkir di rumah, sehingga suasana ruas jalan yang hari-hari sebelumnya langganan macet, berubah menjadi lengang menjelang pukul 10.00 wit.

Pada tempo yang sama, di kawasan Waena, salah satu daerah di Jayapura bagian selatan, terlihat, satu per satu kaum muda menuju kampus baru Universitas Cendrawasi yang terletak di atas bukit. Dalam hitungan menit, kampus Uncen dipadati mahasiswa. Pengeras suara diletakkan dalam sebuah pick up. Berbagai sepanduk dibentangkan. Ada gambar Bendera Bintang Kejora, ada pula Bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Beberapa orang  yang tergabung dalam Komite Nasional  Papua Barat (KNPB) rela bertelanjang dan melukiskan gambar Bendera Bintang Kejora pada sekujur tubuh mereka. Terikan  “Otonomi  no, Referendum yes” menggema sepanjang  ruas jalan dari  kampus itu. Mendadak macet total. Angkot yang nekat melayani penumpang terpaksa  berbalik arah.

Seorang terus orator  menguasai pengeras suara. Warga yang sedang duduk di pinggir jalan pun masuk dalam barisan. Semua berkulit hitam dan berambut keriting. Mereka  membentuk antrian panjang menuju Ekspo Waena.  Di tempat itu, ratusan massa sedang menanti, termasuk massa yang datang dari Kabupaten Jayapura.  Sesaat mereka melakukan orasi, tapi tak berapa lama massa begerak menuju kawasan Abepura menggunakan puluhan truk dan sekitar ratusan kendaraan roda dua.

Di Abepura, tepatnya di pertigaan ratusan massa menyambut massa dari waena dan Jayapura. Mereka bergabung, sehingga jumlahnya menjadi ribuan. Dari kawasan itu, massa lalu  menuju Kota Jayapura menggunakan puluhan dan ratusan kendaraan roda dua.  Sepanjang perjalan, pendemo meneriakan ‘pamit dari NKRI.’

Tolak otonomi khusus dan minta referendum. Itulah substansi tuntutan massa ketika itu. Tuntuntan itu sekaligus sebuah jawaban atas rekomendasi musyawara besar rakya Papua bersama Majelis Rakyat Papua (MRP) yang digelar pada  9-10 Juni, yang menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya adalah mengembalikan undang-undang otonomi khusus kepada Pemerintah Indonesia, meminta dilakukan referendum, dan mendesak agar tambang emas PT. Freeport ditutup. Aspirasi ini dibawah ke DPRP pada medio 18 juni lalu. 

Desakan referendum tersebut setidaknya akumulasi dari kegagalan pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat mensejaterakan rakyat Papua. Pada sektor pemberdayaan ekonomi kedua provinsi ini tidak mampu memberdayakan sektor ekonomi sirih pinang , sagu, gambir, ubi, ikan asar, keterampilan menganyam, seperti noken yang geluti orang asli Papua. Pemerintah hanya giat membangunan infrastruktur sekitar wilayah perkotaan dan mempromosi kekayaan Papua ke luar negeri dan sibuk memperkaya diri menggunakan uang otsus yang sejatinya uang tersebut adalah kekayaan bersama orang asli Papua.

Kekayaan pejabat dan kondisi ekonomi masyarakat asli Papua ibarat jarak langit dan bumi. Di ibu kota provinsi dan kabupaten, para pejabat memiliki harta melimpah. Mobil antri di garasi, rumah bak istana, memiliki rekening gendut di bank, anak sekolah di luar negeri, kesehatan terjamin dan kemudahan hidup lainnya. Sedangkan kondisi hidup masyarakat di kampung sangat miris.

Rumah tetap berlantaikan tanah dan beratapkan daun pohon, bahkan sebagian masih hidup di atas pohon. Tak hanya itu, anak-anak sebagaian besar tidak mengenyam pendidikan, gizi buruk mendera dari kampung ke kampung, makanan gizi masih mengandalkan sagu, layanan kesehatan tersendat, dan sederetan persolan ruwet lainnya.

Uang otonomi khusus yang diperjuangkan dengan darah dan air mata, dalam  pengalokasiannya lebih besar untuk belanja pegawai aparatur pemerintah ketimbang belanja publik. Sedangkan sebagian menghilang di proyek, seperti proyek fiktif pembangunan jalan raya di Sorong Selatan yang melibatkan pengusaha ‘palsu’ dan diduga melibatkan Achmad Hatari, Kepala Bidang Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Papua, yang hingga kini kasus masih mandek di Polda Papua.

Selain persolan tersebut, masalah keamanan masih mewarnai kehidupan keseharian di Papua. Kontak senjanta antara aparat Kepolisi dengan kelompok sipil bersenjata masih terjadi. Misalnya di PT. Freeport, selalu ditemukan peluru tanpa tuan. Dari berbagai letupan sejanjata, OPM selalu jadi kambing hitam. Dalam konteks keamanan, Papua ibarat ‘Jalur Gaza’ yang tak pernah berdamai. 

Peneliti politik dari Lemba Ilmu Pengetahun Indonesi (LIPI), Muridan S. Widjojo, dalam diary of papua, dia menulis; “Para politisi Papua garis keras yang condong ke- NKRI-an masih melihat bahwa konflik Papua semata-mata masalah pencitraan yakni kegagalan Indonesia dalam kampanye dan propaganda keberhasilan pembangunan Indonesia di Papua. Bukan masalah kebijakan dan realitas politik yang diterapkannya di Papua. Pejabat penting di lingkungan Presiden dan wakil presiden, Depdagri, Polhukkam, bahkan di DPRRI masih banyak yang sejalan dengan cara berpikir ini.”

Menurut Muridan, orientasi berpikir nasionalis banal itu dilengkapi dengan pendekatan simbolis dan militeristik yang diyakini sebagai cara terbaik untuk mempertahankan Papua dan integritas nasional Indonesia. Coba perhatikan bagaimana seriusnya aparat keamanan merepresi demo orang Papua mengibarkan Bendera Bintang Kejora. Juga lihat bagaimana besarnya perhatian Jakarta  tentang pemberian kewarganegaraan RI pada bekas aktivis Papua Merdeka FransAlbert Joku dan Nick Messet, dan terakhir pemberian warga negara RI kepada Nicholas Jouwe, pendiri OPM. Contoh lain juga juga adalah pemerintah pusat menerbitkan PP 77/2007 yang intinya menghalang bendera bintang kejora sebagai lambang kesatuan kultur Orang Papua.  ”Kaum nasionalis banal ini, selain pendekatan simbolis militeristik seperti di atas, percaya bahwa dengan diplomasi dan lobi internasional citra Papua dan Indonesia dapat diperbaiki. Mereka berpuas diri dengan pernyataan dari negara sahabat bahwa negara-negara itu mengakui kedaulatan RI atas Papua. Mereka berpuas diri dengan mengatakan pada dunia bahwa Indonesia sudah demokratis,  sudah punya pengadilan HAM, sudah meratifikasi banyak aturan internasional, sudah ini sudah itu…untuk Papua, mereka selalu dengan bangga membeberkan bahwa pemerintah sudah meberikan otsus untuk Papua,” tulis Muridan dalam diarinya itu.

Walau demikian, tidak dapat disangkal bahwa diplomasi dan lobi itu penting, tapi apa artinya semua itu jika gagal menyelesaikan pelanggaran HAM, gagal melaksanakan UU Otsus, gagal membuat rekognisi atas hak-hak dasar orang asli Papua, dan gagal membangun relasi politik yang dialogis antara elemen-elemen strategis di Jakarta dan Papua.

“Sebagian besar kritik terhadap Indonesia atas masalah Papua justru terarah pada empat soal tersebut.” Menurutnya, citra yang otentik dari sebuah negara-bangsa itu dibangun oleh kualitas nyata dan keberhasilan kebijakan politik dan ekonominya bagi warga negaranya. Pengadilan ham dan rekonsiliasi yang berhasil, pelaksanaan Otsus yang optimal untuk kesejahteraan rakyat Papua, rekognisi yang konkrit atas hak-hak dasar orang asli Papua serta dialog-dialog yang bermutu dan substantif antara Jakarta dan Papua itulah yang akan menjadi humas yang otentik bagi Indonesia dan Papua. Kebijakan yang nyata itulah yang akan memperbaiki citra Indonesia tidak hanya di mata dunia internasional, tetapi yang terpenting, kepercayaan rakyat Papua pada pemerintah pusat di Jakarta.

“Seseorang yang sudah sakit parah tidak bisa ditutupi hanya dengan memberinya bedak dan kosmetik agar dia kelihatan sehat. Dia harus diobati dan kalau perlu dioperasi besar-besaran agar penyakit kronis di dalamnya dapat disembuhkan,” katanya. (JUBI/Lasarus Gon)

Exit mobile version