Pendekatan Dialog Kasus Makar

Papua ternyata masih menyimpan bara api. Kemunculannya dari berbagai aspirasi dan sikap yang dilakukan terhadap aspirasi yang timbul. Entah bersinggungan dengan “sebutan makar” atau sekedar menegakkan demokrasi, aspirasi sering bermunculan di tengah-tengah kita. Mulai dari penegakan HAM, hukum yang berkeadilan, sampai bunyi “merdeka.” Perlu kehati-hatian menyikapi aspirasi ini.

Tak selamanya aspirasi itu jahat. Tak selalu juga aspirasi itu bisa memperbaiki semuanya. Perlu memilah, mana aspirasi yang menjadi ungkapan kekecewaan yang dalam, mana pula yang hanya sekedar mengikuti tren. Perlu juga memilih, mana aspirasi yang mewakili kebanyakan orang, mana pula aspirasi yang hanya mewakili kelompok. Jika sudah memilah dan memilih, pendekatan aspirasi bisa dilakukan.

Aspirasi adalah bagian dari bentuk demokrasi. Ia merupakan keinginan yang tersimpan di benak kebanyakan orang, atau di benak sebagian orang yang berkelompok.

Aspirasi memiliki saluran yang bermacam-macam. Penggalangan massa untuk melakukan demo adalah salah satu penyaluran aspirasi. Aksi yang dilakukan Buchtar Tabuni adalah salah satu bentuk penyaluran aspirasi. Sayangnya, pendekatan sikap terhadap aspirasi ini ditempeli dengan “aksi makar.”

Memang, makar adalah bentuk yang tidak kita inginkan sebagai orang Indonesia. Karena tidak diinginkan, lantas pendekatannya menggunakan hukum. Cara ini bisa ampuh, bisa juga malah jadi bumerang yang menuai celaka.

Ampuhnya: bila pendekatannya memang mampu meredam keinginan banyak orang untuk tidak makar. Celakanya: bila ternyata dihukum satu malah tumbuh seribu orang yang berteriak “makar.”

Aksi yang dilakukan pendukung Buchtar Tabuni dengan mendatangi Pengadilan Tinggi Papua menjadi sinyal bahwa pendekatan “hukum makar” untuk kasus Buchtar Tabuni tidak ampuh. Malah justru diprotes. Memang, kalau sudah pendekatan hukum, protes tidak akan mempan. Hanya bisa melalui pembelaan kuasa hukum di depan hakim.

Sebenarnya ada cara lain yang bisa ditempuh. Yakni: pendekatan dialog. Aspirasi dibalas dengan aspirasi. Bila dilakukan dengan cara ini: bukan perangkat hukum yang bergerak. Polisi hanya bisa membantu. Sementara yang garis depan adalah perangkat pemerintah. Bisa wakil rakyat atau juga dinas pemerintah terkait.

Sudah saatnya aspirasi makar didekati dengan cara-cara dialog. (***)

Exit mobile version