Apa Artinya Otsus Gagal? – Seri Ulasan Editorial WPMNews (1)

Orang Papua, terutama pemuda Papua selalu dan berulangkali melakukan demonstrasi di hadapan pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan alasan-alasan yang bervariasi dan dalam berbagai bentuk. Dari berbagai kegiatan ini, ada tiga hal penting yang selalu saya amati. Contoh kasus, terjadi “perang suku” , maaf ini kata orang Indonesia, bukan kata saya, maka mahasiswa Papua melakukan aksi menuntut kekerasan dihentikan. Selang beberapa kata, kalimat, paragraph kemudian selalu muncul ungkapan atau tuntutan, “Papua Merdeka”. Itu hal pertama.

Hal kedua, dalam pada itu, ada yang memilih bahasa yang lebih sopan, tidak menuntut merdeka, mereka hanya bilang “menolak Otsus”. Mereka punya argumen Otsus telah gagal, dengan menunjukkan berbagai bukti kegagalan pemerintah neo-kolonial Indonesia dalam memberlakukan Otsus NKRI di West Papua.Termasuk “perang suku” di Timika dianggap sebagai bukti kegagagalan, atau Pemda yang sudah punya Otsus itu gagal mengamankan dan gagal menyelesaikan akar persoalan ‘perang suku’ dimaksud. Apa kaitan ‘perang suku” dengan Otsus?

Rupanya ada saja orang Papua yang pernah mengharapkan di awal-awal proses pemberian Otsus itu bahwa dengan pemberlakukan Otsus, maka nasib orang Papua akan lebih diperhatikan, kehidupan mereka akan lebih baik, pembunuhan berkurang, pelanggaran HAM hilang, orang Papua menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua Dewan, Kepala Sekolah, Kepala Desa, Lurah, Kapolda, Pangdam, Kapolres, Pilot, Direktur Rumah Sakit, dst, dsb. Saya sudah sejak awal, tahun 2002 mengatakan dalam tiga buku Papua Menggugat: Prakek, Teori dan Politisasi Otsus NKRI untuk West Papua dan terbuka dan terus-terang menunjukkan, jauh sebelum semua ini terjadi, bahwa justru proses etnosida dan genosida akan terjadi lebih cepat, lebih meluas, lebih mendalam dan lebih canggih, serta lebih pasti.. Itulah yang sedang terjadi sekarang. Waktu itu ada elit politik Papua dalam bedah buku-buku itu mengatakan tulisan-tulisan dan ulasan saya bersifat provokativ, tetapi saya mau katakan bahwa itu bukan provokativ, tetapi proaktiv dan projective melihat apa yang pasti bakalan terjadi. Dan buktinya sekarang sudah terjadi. Buktinya itu sebabnya masih saja ada demo-demo menolak Otsus atau mengembalikan Otsus. Itulah sebabnya tuntutan awal bangsa Papua, “Papua Merdeka!” masih terdengar di Bumi Cenderawasih.

Dia antara kedua kubu ini ada hal ketiga yang saya catat saat ini, yaitu setelah menuntut Papua Merdeka, ada orang Papua menuntut referendum. Sama halnya pula, mereka yang menolak Otsus atau yang mengatakan Otsus gagal, juga pada saat yang sama menuntut referendum. Kita telah baca artikel terbaru Papua Pos, “Otsus No, Referendum Yes!”

Yang menuntut Papua Merdeka dan yang menyatakan Otsus gagal dan karena itu dikembalikan kepada NKRI bertemu pada titik ‘tuntutan referendum’. Keduanya mulai dari titik yang berbeda, tetapi, karena tujuan mereka sama saja, maka mereka bertemu di persimpangan ‘jalan referendum” atau lebih tepat “perempatan referendum”. Maka itulah saya katakan tadi bahwa yang satu memilih jalan yang terus-terang, yang sering di-bahasa-politik-kan menjadi “garis keras”, dan yang satunya kelompok “non-kekerasan” atau perjuangan damai. (Perlu diketahui bahwa wacana dan gerakan “Papua Tanah Damai” dan perjuangan “non-kekerasan” memiliki sejumlah perbedaan yang tidak saja berbeda tetapi bertolak-belakang satu sama lain, maka maksud kelompok “non-kekerasan” di sini bukan dirujuk kepada kelompok yang mengkampanyekan dan mendukung “Papua Zona Damai”).

Merujuk ke referendum tadi saya bilang ada ‘perempatan referendum’, maka pasti ada empat jalan yang menuju ke pertemuan mereka itu. Jalan pertama ‘jalan terus-terang’ atau blak-blakan, jalan kedua “diplomatis”, jalan ketiga “oportunis” dan jalan keempat “nogwe inok nawok, wogwe inok worawok” artinya “orang tak berpendirian, tetapi dapat dipengaruhi” oleh siapa saja. Saya tidak punya kepentingan dengan dua kelompok (1) Oportunis yang kebanyakan orang Papindo (Papua-Indonesia) dan (2) orang tratau diri tadi. Saya hidup dan punya kepentingan khusus dengan dua kelompok lainnya.

Oleh karena toh akhirnya dua jalan tadi: (1) terus terang dan (2) diplomatis bertemu di persimpangan yang sama, maka kita perlu bertanya, “Apa artinya Otsus gagal?” Tentu saja, maksud saya di sini, Apa artinya kalau orang Papua katakan “Otsus gagal?”

Tentu saja kaum oportunis Papindo akan menjawabnya lain. Jawaban saya dalam bentuk sebuah pertanyaan lagi, “Bukankah itu maksudnya, ‘menuntut Papua Merdeka?'”

Peranyaan ini beranjut dengan pertanyaan lagi:
1. Apa yang terjadi kalau Otsus ditolak?
2. Apakah NKRI akan menerima penolakan Otsus itu?
3. Kalau diterima, maka NKRI akan buat apa sebagai pengganti Otsus? Apakah dia akan minta maaf dan batalkan
semua Undang-Undang, semua dana dan tenaga yang dikeluarkan selama ini, HANYA oleh karena orang Papua
menyatakan “Otsus gagal”?
4. Kalau ditolak, apakah itu artinya Otsus tidak gagal alias berhasil?
5. Apa target orang Papua dengan menolak Otsus?

Apa artinya Otsus gagal?

Pertanyaan ini bukan pertanyaan politis, tetapi sebuah pertanyaan matematis. Pertanyaan ini sama artinya dengan kalimat matematika 1 + 1 = …. (satu tambah satu sama dengan?). Otsus gagal artinya….?

Matematika mengkalimatkan hal-yang yang pasti untuk mendapatkan jawaban yang pasti pula, tetapi politik mengkalimatkan hal-hal dengan berbagai kemungkinan dan jawabannya-pun dipenuhi dengan sejumlah kemungkinan pula.

Tinggal Anda dan saya memilih, apakah:
1. Otsus gagal artinya kalimat matematik, atau
2. Otsus gagal ialah sebuah kalimat politik

Di samping itu ada pertanyaan lanjutan
1. “Mengapa orang Papua menolak atau “Mengembalikan Otsus?”
2. Bisakah, atau kapankah kelompok blak-blakan dan yang non-kekerasan tadi bertemu?
3. Dapatkah keduanya bersatu dan berfokus kepada satu bidikan yang secara realistik menurut “real-politik” Indonesia
paling dapat menyebabkan NKRI memberikan tanggapan?
4. Untuk itu orang Papua perlu tahu, “Apa yang Indonesia mau dengar dari orang Papua: Otsus gagal atau tuntut
referendum?”

Politik penuh dengan sejuta kemungkinan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja, dan politik tidak mengenal negara itu besar dan raksasa atau kecil seperti semut. Politik dapat menyatakan satu tambah satu sama dengan lima, dan lima sama dengan dua tambah tiga. Semuanya penuh dengan kemungkinan.

Olehnya itu, dalam interaksi politik West Papua – NKRI perlu dipegang sebuah prinsip bahwa “kebenaran” yang merupakan sesuatu yang mutlak, kapanpun, dimanapun, bagaimanapun juga. Ia tidak akan, tidak dapat dan tidak pernah terkalahkan, malahan ia selalu dan pasti menang. Politik hanya dapat memanggil nama angka “2” dari 1+1 itu dengan nama “lima” tetapi ia tidak dapat merubah angka “2” menjadi angka “5”. Itu kebenaran mutlak. Keinginan dan aspirasi serta perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat serta hidup damai dan harmonis di tanah leluhurnya adalah angka “2” sebagai hasil penjumlahan dari angka 1+1 tadi. Walaupun Indonesia membacanya dengan nama “5” atau “500” sekalipun, ia hanya sebatas memanggilnya dengan nama itu, sedangkan angka “2” tidak dapat dan tidak akan pernah dirubahnya, baik oleh Indonesia atau Amerika Serikat sekalipun. Hukum Alam tentu tidak dapat, tidak pernah dan tidak akan pernah dikalahkan oleh Hukum Ekonomi, Hukum Politik, Hukum Negara manapun juga. Pejuang kemerdekaan West Papua patut bekerjasama dengan Hukum Alam itu karena Hukum Alam hanya berbahasa dan berkalimat matematis. Manusia dapat mempolitisasinya, tetapi karena manusia itu lahir, hidup dan mati menurut Hukum Alam, maka karya dan “imagined nationalism”-nya pasti tunduk kepada Hukum Alam.

Menurut Hukum Alam itu, maka orang Papua yang menolak Otsus atau menyatakan “Otsus gagal!” perlu memantapkan barisan dan membangun stategi bersama dengan kelompok blak-blakan tadi untuk tunduk dan taat kepada Hukum Alam. [Semoga bermanfaat]

Exit mobile version