Ketua MRP: Tingkatkan Otsus Jadi UU Federal

Dari Acara Musyawarah MRP

Jayapura- Kegagalan pemerintah pusat dalam menerapkan Otonomi Khusus (Otsus)  di Tanah Papua harus segera direspon. Salah satunya dengan opsi peningkatan status UU Otsus. Hal itu disampaikan oleh Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Agus Alue Alua di sela-sela sambutannya dalam membuka Musyawarah MRP dan Rakyat Asli Papua di Kantor MRP Kotaraja Rabu (09/06) kemarin.

Untuk mengatasi kegagalan Otsus, menurut Agus Alua MRP menyarankan beberapa solusi, seperti mengembalikan Otsus pada pemerintah pusat, merevisi UU Otsus secara menyeluruh maupun meningkatkan status UU Otsus. “Selain revisi Otsus,  kita bisa minta peningkatan UU Otsus menjadi UU Federal dengan sistem “One Nations Two Systems,” tegasnya. Dalam kilas sejarah lahirnya UU Otsus, Agua Alua mengatakan bahwa Otsus merupakan bargaining politik yang ditawarkan pemerintah pusat agar rakyat Papua tidak minta merdeka. “Kita harus pahami bahwa Otsus bukan kemauan murni namun hanya solusi untuk menjawab aspirasi politik rakyat Papua”, tuturnya.Semangat dasar UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus yang diimplementasikan dengan pemberian kewenangan yang besar pada pemerintah provinsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua belum tercapai. “Selama 9 tahun pelaksanaan UU Otsus,pemerintah provinsi belum mengatur satu kebijakan pun yang berpihak pada rakyat Papua”,sambungnya.

Agus Alua menambahkan, terdapat inkonsitensi sikap dari pemerintah pusat dan daerah terhadap pelaksanaan Otsus seperti kehadiran Provinsi Irian Jaya Barat, larangan penggunaan Bendera Bintang Kejora, pembetukan Barisan Merah Putih (BMP) dan segala manuver politiknya, politisasi terhadap SK MRP No 14 tahun 2009,dualisme hukum antara provinsi dan kabupaten menyangkut UU UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM di tanah Papua.   Agus Alua juga menyinggung kemungkinan digelarnya dialog nasional antara Papua dan Jakarta untuk menyelesaikan masalah yang terjadi secara menyeluruh. “Penyelesaian masalah Papua perlu ditempuh dengan langkah yang bermartabat melalui dialog Jakarta-Papua dengan mediasi pihak internasional yang netral”,tegasnya

Untuk diketahui, Musyawarah MRP dari ketujuh Dapil yang meliputi  kepala burung Papua Barat  dan Papua yang berlangsung, Rabu (9/6) menampilkan beberapa pemateri, materi awal yang dibawakan Wakil Ketua II Frans Wospakrik yang berisi laporan kinerja MRP Tahun 2005- 2010, yang memotret perjalanan lembaga cultural orang asli Papua dalam rangka memberikan perlindungan, pemberdayaan dan keberpihakan penuh kepada orang asli Papua untuk menjadi Tuan di atas Negerinya Sendiri.

Latar belakang diberlakukannya otsus bagi Papua, dianggap sebagai jalan tengah yang adil, meredam  “Aspirasi Merdeka rakyat Papua”, yang  kain kusutnya, sejumlah persoalan Papua yang tak terselesaikan, yang menempatkan orang asli Papua sebagai subjek utama untuk di berdayakan, dilindungi dan terlebih ada rasa keberpihakan.

Frans Wospakrik  dalam  materinya, tentang peran MRP  yang berbasis adat budaya dan pemberdayaan perempuan itu mengungkapkan, Adat dan budaya yang diperankan lembaga MRP, dalam rangka Pemenuhan hak hak warga Negara dimana mereka berada.

Dalam perjalananya hingga tahun 2010 ini, ada aspek aspek Positif yang patut  diberikan penghargaan dan mendukung  lembaga ini, pun diakuipula, bahwa kinerja lembaga ini tidak terlepas dari pandangan negative  akibat kurang terbukanya lembaga cultural ini mensosialisasikan programnya kepada Publik di Papua, hingga tudingan negative kerap muncul.

Diakui, perjalanan MRP selama lima tahun, tidak terlepas dari segala dukungan yang dibutuhkan bagi kelanjutan lembaga ini,  Dukungan SDM dan dana, konkritnya, dua hal utama agar lembaga ini tetap eksis, meski demikian, MRP telah berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, ujar Mantan Rektor UNCEN ini.

Menurutnya, MRP telah berupaya  mendorong agar peraturan Daerah Raperdasi diwujudkan, namun kenyataan yang dihadapi sejumlah perdasus tidak berjalan.  Diakui atau tidak, MRP telah melakukan apa yang meski dilakukannya,  mendorong sejumlah perdasus dalam rangka inisiasi dengan cara melakukan peninjauan dan melihat berbagai pertimbangan terkait keberadaan PT. Freeport dan Tambang Nikel di beberapa daerah di Papua.Hal berikut, dalam rangka pemberdayaan orang asli Papua di lembaga legislative dengan penambahan 11 kursi, serta retrumen Orang asli Papua pada jabatan tertentu di Pemerintahan, serta keputusan MRP No. 14, yang senyatanya terkandung dalam undang undang OTSUS dan telah dijalankan sejak awal MRP hadir pada  tahun 2006.

Bila tudingan negative kerap muncul kepada lembaga  Rakyat Papua ini, Frans Wospakrik tidak memungkiri hal itu. Diakui bahwa tundingan negative kepada MRP, lebih pada kurangnya sosialisasi dan publikasi kerja MRP kepada rakyat Papua, jadi factor penghambat yang tak terelakkan yang turut mempengaruhi kinerja MRP, berikut  MRP dijebak dalam situasi yang menghambat langkahnya dalam hal tidak diberi kewenangan untuk membuat perdasus sebagaimana amanat otsus mengamanatkan hal itu, kefakuman hukum, jadi factor penghambat, ungkapnnya.

Penetapan akan diberlakukannya SK MRP No.14 yang dihasilkan dari Produk Undang undang Otsus Papua, jadi pertentangan berbagai kalangan dan birokrasi Pemerintah  Pusat  dan Gubernur Papua hingga terjadi dualisme Hukum, kata dia, padahal, tugas pembinaan supervisi ada pada pemerintah dan turut mempengaruhi fungsi pengawasan, dan ini tidak diatur baik dalam undang undang Otsus, hingga tidak heran timbul pertanyaan  masyarakat tentang peran MRP  dan pertanyaan seputar dimana  dan kemana Dana Otsus,  inipun belum diatur secara efektif.MRP telah mengambil langkah, tapi dipersalahkan. MRP harus ditingkatkan kapasitasnya dalam menghadapi tantangan secara nasional, internasional dan tantangan gobal.

Sementara penyelesaian masalah Politik Papua, jadi agenda MRP yang tidak dapat dihindari, termasuk juga didalamnya berbagai agenda tentang pemekaran Provinsi Papua yang dinilai MRP terlalu mudahnya rakyat diPapua mengajukan pemekaran langsung kepada Pemerintah Pusat, tanpa melalui pertimbangan MRP, kedepan MRPlah yang akan mengajukan pertimbangan tentang perlu tidaknya suatu daerah di Papua di mekarkan berikut persetujuan pemekaran. “ Menurutnya, tidak ada yang dapat memperhatikan orang Papua, kecuali orang Papua sendiri memperhatikan diri dan eksistensinya.

Frans Wospakrik mengakui, masih banyak hal yang MRP belum lakukan karena terkendala pada kewenangan. “MRP ibarat di tengah Hutan, masih ada perbedaan pandangan antara orang Papua sendiri, dan unsure unsure pembeda pada orang Papua inilah yang harus di hilangkan   Pembahasan materi yang disusul pertanyaan peserta yang menyatakan, perlunya persatuan diantara orang Papua dengan melihat kenyataan bahwa Jakarta tidak punya kemauan dan melecehkan apa yang jadi kompensasi dari pelecehan terhdap anak anak Papua, hingga sampai pada tingkat “ OTSUS Gagal sebab orang Papua merasa tidak jadi bagian dari Negara ini, karena berhadapan dengan sistim yang tidak menghargai kesepakatan kesepakatan yang dibuat, ungkap seorang perwakilan Mahasiswa, yang diperlukan, Kebersamaan orang Papua.

Tanggapan MRP atas pertanyaan peserta yang  seperti dinyatakan  Frans Wospakrik yang menyatakan bahwa, MRP  menampung segala usulan masyarakat, serta melangkah secara tepat dalam menyelesaikan masalah dan bekerja menurut sistim yang sudah diatur.” Mimpi besar kita tentang  rakyat Papua yang sejahtera pada tahun 2026, akankah terwujud”. (cr-10/ven)

Exit mobile version