Hubungan PNG-NKRI yang Akrab dan Mesra, Begitu Kah?

Sejak Papua New Guinea diberikan status “Independent State”, bukan republik atau sebuah negara merdeka dan berdaulat seperti dicita-citakan bangsa Papua di bagian barat Pulau New Guinea, maka sejak itu bangsa Papua di Timur Pulau New Guinea mulai membangun dirinya dan bangsa Papua mulai dari titik peninggalan penjajah Inggris-Jerman dan Australia. Persiapan kemerdekaan sebenarnya sudah dimulai di West Papua sepuluh tahun mendahului Papua Timur, tetapi mengalami kendala di tengah perjalanan.

Sejak pemberian kedaulatan kepada PNG, negara berbangsa Papua itu menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara kawasan, termasuk dengan Indonesia (NKRI). Dalam menjalin hubugan-hubungannya itu, bangsa Papua di PNG selalu menempatkan dirinya sebagai “bangsa yang belajar”, “bangsa yang mengikuti dari belakang”, “bangsa yang terkebelakang”, “bangsa yang tidak sanggup memimpin”, sampai-sampai harga diri bangsanya-pun dijadikan “mengikuti jejak orang putih.” Di samping merendahkan dirinya sendiri, penduduk PNG juga dibentuk sedemikian rupa sehingga mereka tidak memiliki jiwa ‘kebangsaan’ seperti kita miliki di bagian Barat. Rasa kebangsaan mereka hanyalah mencakup kampung dan desa mereka, menyangkut suku dan wilayah mereka, menyangkut makan dan minum hari ini, menyangkut bikin anak dan beristeri lebih dari satu. Nasionaisme Papua di PNG tidak-lah sejelas dan secanggih yang ada di West Papua. Tidak ada isu harga diri dan martabat, tidak ada topik wawasan kebangsaan Melanesia. Tidak juga memikirkan masa depan bangsa Papua dan ras Melanesia 10-100 tahun ke depan, apalagi tahun depan saja tidak pernah terlintas di pikiran.

Yang terlihat dalam kampanye politik setiap empat-lima tahun adalah pembagian uang kepada setiap kampung dan para Councilors (Kepala Suku) terima uang untuk memimpin pawai dan menghadiri kampanye politik orang-orang yang mau menduduki jabatan politik atau birokrasi. Topik kampanye-pun tidak pernah menyangkut Papua, Papua New Guinea apalagi Melanesia. Yang mereka sebut adalah jalan raya, biaya sekolah, biaya rumah sakit, pertandingan-pertandingan dan kasus-kasus orang lain menjadi bahan serangan mereka. Tidak ada politisi yang berpikiran nasionalis Papua.

Ditambah lagi, dalam hubungan dengan NKRI, politik “fear-factor” telah menjadi senjata ampuh yang dimainkan NKRI di hadapan seluruh penduduk negara-negara di Melanesia, terutama PNG. NKRI ditampilkan sebagai negara adikuasa di Pasifik, yang buas dan ganas, yang dapat mengamuk kalau diganggu, yang dapat menumpas dan memakan dengan tamak kalau disinggung dan dikorek sedikit saja, yang akan membunuh di siang bolong kalau ada yang bermacam-macam dengannya, apalagi mendukung West Papua Merdeka. Fear-factor merupakan senjata yang sudah ampuh digunakan terutama di Provinsi East Sepik dan Sandaun. Penduduknya begitu ketakutan melihat orang putih (wait man), kong-kong man (orang Asia). Apa akibatnya? Orang-orang sebangsa dan setanah air dari West Papua yang hendak mencari perlindungan karena dikejar oleh NKRI malahan dijauhi, ia malahan tambah lari darinya ketakutan diapun menjadi sasaran buruan NKRI.

Bercerita tentang West Papua, apalagi menceritakan West Papua Merdeka menjadi sesuatu yang terlarang di dua provinsi terbarat dari PNG. Cerita-cerita pelanggaran HAM dibuat sekejam mungkin tidak membuat bulu roman orang-orang sebangsa kita berdiri dan menantang NKRI. Mereka malahan bilang,

“Adooooh, saya takut saya kena musibah yang sama. Kamu orang-orang West Papua jangan tinggal di sini, jangan bicara dengan saya, jangan bilang saya kenal kamu, jangan, ohhh jangan. Kamu jauh dari saya. Kamu nanti bikin saya celaka. Saya biasa bebas, jadi kamu bikin saya terikat.”

Bandingkan saja cerita pengalaman ini dengan apa yang dilakukan Michael Somare saat SBY dan rombongan mengunjungi PNG baru-baru ini. Keduanya berjabatan-tangan, keduanya tersenyum mesrah, seolah sahabat karib, sebangsa-setanah air, satu nenek-moyang. Yang sebenarya begini: Yang terpencar dari Michael Somare adalah, “Oh Indonesia, saya orang baik, jangan bunuh saya, saya baik-baik sambut-sapa dan berjabatan-tangan. Kalau mau bunuh, bunuh saja orang-orang pendukung Papua Merdeka. Saya sih mendukung NKRI.”

Perasaan takut yang sama juga sebenarnya menghantui politisi Republik Vanuatu. Cuman Vanuatu tidak memiliki bos negara barat yang dapat mendiktenya dan menakut-nakutinya. Sekaligus juga Vanuatu memilik basis dukungan rakyat yang begitu kuat, sehingga pemerintah tidak dapat menunjukkan rasa takutnya secara terbuka. Mereka lebih takut kepada desakan rakyat mereka yang dapat menurunkan mereka dari jabatan kalau mereka menolak dukungan terhadap Papua Merdeka.

Pada suatu saat nanti kondisi seperti ini akan terbangun di Papua New Guinea, di mana justru rakyat sendiri yang menuntut supaya West Papua harus merdeka. Memang perasaan itu sudah ada, tetapi selalu dimatikan oleh fear-factor tadi. Yang akan terjadi adalah dorongan dan banjir serta badai dukungan kuat akan menghembus harapan dan kekuatan bagi ombak dari laut dan aliran sungai-sungainya ke laut akan bertambah deras sehingga dukungan itu tidak dapat dibendung lagi. Dalam kondisi terpaksa politisi di Port Moresby harus menyanyikan syair yang disuarakan badai itu. Kalau tidak, ia sendiri akan terbawa arus dan terhempas ke lautan Pasifik yang luas dan tenang itu.

Fear-factor itu harus dimatikan dengan berbagai upaya para pejuang Papua Merdeka. Salah satu cara adalah melakukan pencerahan-pencarahan, menerbitkan situs dan buku-buku dalam Tok Pisin dan Bahasa Inggris dan dibagikan ke seluruh Melanesia, mengajarkan mereka tentang Nasionalisme Papua, bukan hanya nasionalisme West Papua, memberitahu mereka masa depan Melanesia sebagai bangsa dan sebagai wilayah menghadapi globalisasi dan global-warming serta climate change. Para pejuang West Papua Merdeka haruslah menempatkan perjuangan Papua Merdeka di dalam konteks perjuangan bangsa Papua dari Pulau New Guinea sebagai “Kakak dari ras Melanesia”, yang harus bangkit membela ras dan identitasnya terhadap ekspansi dan pendudukan Asia dan Melayu.

Kita harap pada titik itu, kiranya keakraban dan kemesrahan itu berbalik arah, dan berpaling kepada dirinya sendiri, di dalam dirinya sendiri dan untuk bangsanya sendiri, bukan untuk para pembunuh, penjarah, pencuri dan penjajah. Karena mereka datang dan bermuka domba, padahal serigala itu datang untuk membunuh, dan memangsa, bukan sebaliknya.

Exit mobile version