Peradilan Adat Tidak Berwenang Menjatuhkan Hukuman Badan – Dari Worshop Raperdasus Peradilan Adat Papua di Merauke

Untuk memberikan masukan dan bobot terhadap Rancangan Peraturan Khusus (Raperdasus) Peradilan Adat di Papua sebelum dibahas DPRP yang kemudian akan ditetapkan sebagai Perdasus, maka melalui kerjasama dengan Kemitraan Partenership dilakukan Workshop sehari di Merauke.

Laporan Yulius Sulo, Merauke
———————————————————–
Hadir sebagai narasumber Yunus Daniel, salah satu Hakim Pengadilan Tinggi Papua yang merupakan Anggota Konsultan Penyusun dan Project Manager Kemitraan Partenership, Eliva Rori. Hadir dalam acara tersebut tokoh masyarakat, tokoh adat, perempuan, pemuda, pemerhati hukum dan sejumlah tokoh lainnya.

Yunus Daniel mengungkapkan, Raperdasus Peradilan Adat di Papua ini merupakan salah satu amanat dari UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua sebagai salah satu penjabaran pelaksanaan dari UU tersebut. Karena itu dalam membuat aturan ini tidak bertentangan dengan UU Otsus. ‘’Yang kami tuangkan dalam Raperdasus uini adalah pengakuan tentang peradilan adat di Papua sebagaimana tertuang dalam UU Otsus,’’ katanya.
Peradilan Adat sebenarnya sudah dihilangkan di Indonesia dan yang berlaku adalah Peradilan Negara. Namun yang sangat membahagiakan adalah bahwa dalam UU Otsus Peradilan Adat diangkat kembali dan mendapat pengakuan. Dalam peraturan ini tidak dibuat sesuatu hal yang baru lagi seperti adanya peradilan adat baru, tapi peradilan adat yang hidup dan telah eksis di dalam masyarakat adat selama ini.
‘’Dalam penyusunan Peradilan Adat ini kami hanya mengatur hal-hal pokok, tapi secara detail akan dikembalikan dan diserahkan ke daerah masing-masing untuk dibuatkan Perda sesuai dengan kondisi adat daerah masing-masing,’’ kata hakim senior yang pernah bertugas di NTT.

Diungkapkan, dalam pangaturan ini, pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara dan kurungan. Diakui Yunus, dalam pembuatan dan penyusunan Raperdasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, perlu mendapat masukan untuk penyempurnaannya.

Sementara itu, Manager Project Kemitraan Partenership Eliva Rori, mengungkapkan, workshop ini dilakukan di 5 Kabupaten di Papua masing-masing Sorong, Wamena, Merauke, Biak, Jayapura dan Merauke. Menurut Eliva, pihaknya diminta pihak DPRP untuk memfasilitasi mengidentifikasi masukan dari masyarakat terkait dengan Raperdasus ini.

‘’Sebenarnya ini tugas DPRP untuk mengidentifikasi masukan dari masyarakat. Karena itu kami fasilitasi dan meminta kesediaan dari salah satu tim konsultan, sehingga bila ada pertanyaan bisa nyambung. Karena bila DPRP yang sosialisasi bukan mereka yang buat,’’ terangnya.

Eliva berharap, Raperdasus ini bisa dapat segera dibahas dan ditetapkan DPRP. Sebab, menurutnya, dari kunjungan yang dilakukan dibeberapa Kabupaten, ternyata Raperdasus Pengadilan Adat ini cukup sangat strategis dan penting issunya. ‘’Kenapa sangat penting, karena Raperdasus ini untuk melindungi hak-hak orang Papua. Selain itu peradilan adapt ini tetap eksis dalam menyelesaikan perkara mereka dengan cara yang cepat, murah dan sederhana dibanding peradilan Negara,’’ terangnya. ****

Exit mobile version