Yermias Degei: 63 TAHUN INDONESIA: Papua Merdeka?

16-Aug-2008, 22:11:41 WIB – [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia – Potret Seorang bapak di Nabire menggigit jari keherangan ketika melihat sebuah spanduk bertuliskan “HUT ke-60 RI” pada 2005. Sejenek, Bapak itu memerhatikan spanduk tersebut dan secara spontan ’berbicara banyak’. “Oh, ternyata umur negara ini (Indonesia: red) sudah 60 tahun,”katanya. Pada 7 Agustus 2008, beberapa pemuda perbincangkan soal HUT ke-63 RI. “Sama saja. Mau ulang tahun ka, mau Otonomi Khusus ka, sama saja,” katanya.

Pada kesempatan yang berbeda (2008) dalam angkutan kota, seorang ibu yang baru saja datang dari pedalaman berkomentar, “Di Tanah Hitam (KM 165 Jalan Trans Nabire-Ilaga:red) rusak parah. Belum diperbaiki. Padahal, katanya mau bangun jalan tol.” Sementara, Opinus Tabuni tersungkur oleh peluru yang menembus dadanya pada bulan Agustus ini. Perayaan Hari Masyarakat Pribumi Internasional di Wamena menjadi hujan peluruh. Wamena menjadi perhatian dunia. Ini bukan kematian oleh peluru yang pertama di Papua. Mungkin juga bukan yang terakhir. Tambah lagi, beberapa orang di Fak-Fak harus mendekam di penjara karena mengibarkan Bintang Kejora.

Keganasan Diare di Lembah Kamuu, Kabupaten pemekaran baru Dogiyai harus merengut 76 nyawa manusia sejak April-Mei 2008 (Baca Tabloid Suara Perempuan Papua, No.40 Tahun IV 6-12 Juli 2008). Jumlah itu masih menjadi perdebatan antara Dinas Kesehatan Nabire dan para pekerja kemanusiaan yang datang langsung ke lapangan. Namun, jumlah korban terus bertambah. Yang jelas, ada yang meninggal karena tak terlayani.

Lalu, menjelang HUT ke-63 RI, satu lagi buku karya putra Papua ditarik dari peredaran. Kejaksaan RI menyita buku “Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat` karangan Socrates Sofyan Yoman yang diterbitkan PT Galangpress Yogyakartadi. Setelah sebelumnya buku ”Tenggelamnya Rumpun Melanesia” karya Sandius Wonda ditarik dari peredaran oleh kejaksaan.

Orang mabuk menjadi pemandangan sehari-hari di setiap lorong. Ada yang terlelap untuk sebentar. Ada yang terlelap dalam keabadian. Yang lain memanen uang dari alkohol itu. Anak-anak usia sekolah menjadi para tukang kaleng. Mereka cari kaleng untuk biaya makan dan mungkin juga untuk biaya sekolah. Mereka terus bertambah banyak.

Beberapa siswa yang baru tamat SMA di kota Nabire harus kembali ke kampung halaman (pedalaman). Mereka tidak ada biaya sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sayang, anak-anak ini tanpa bekal keterampilan untuk menerapkannya di daerah orang berkoteka (pedalaman). Masih banyak lagi kisah-kisah menyakitkan di tanah ini. Soal di tanah ini terus tercipta seiring waktu yang terus berjalan. Ini adalah realitas di balik kenyataan dewa Otsus dan yang aktual HUT ke-63 RI. Waktu terus berjalan dan kini saatnya mereposisi makna merdeka.

Mereposisi Makna Merdeka

Merdeka? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 736), merdeka (a) berati bebas (dari penghambatan, penjajahan dan sebagainya); tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Tentu dalam berbagai hal. Merdeka. Bukan berdiam di bawah cengkraman asing (baca= Tan Malaka). Membiarkan bangsa tenggelam dalam dasar laut dari pada harus dikendalikan asing (baca=Soekarno). Setiap suku bangsa hidup di atas tanah (baca= tanah adat dan masyarakat pribumi) mereka dengan pemenuhan hak-haknya.

Merdeka berarti ada jaminan kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendidikan, kebebasan menikmati fasilitas umum yang baik. Bebas dari ketidakberdayaan karena pembangunan, bebas dari rasa dijajah dan penindasan, hak untuk masa depan. Ada pemenuhan dan penghargaan atas HAM. Begitulah arti merdeka jika ditinjau lebih dalam berdasarkan secara leksikal.

Lain lagi dan masuk akal jika Arnold membayangkan merdeka seperti bird paradise. “Merdeka itukan seperti burung Cenderawasih to….Coba lihat di hutan-hutan sana, kalau hari sudah senja Cenderawasih akan menari dan bernyanyi dengan suara yang sangat indah. Jadi merdeka itukan seperti Cenderawasih to,” kata Arnold seperti dikutip Selangkah, 2004. Itulah makna merdeka yang dibayangkan anak itu.

Merdeka ’Jauh’

Tidak dapat dipungkiri bahwa merdeka dalam arti tertentu, konteks tertentu, dan tempat tertentu di republik ini telah dan terus tercipta. Namun, kita harus berbesar hati bahwa merdeka terus tercita dan mendekat tetapi juga kadang menjauh (jauh). Setelah secara de facto pada 17 Agustus 1945, Indonesia dinyatakan merdeka secara teritorial (baca: Papua tidak termasuk waktu itu), Indonesia terus berjuang untuk kemerdekaan itu.

Reformasi pada 1998 mencoba menarik kembali ”merdeka” dengan darah. Namun, toh masih membutuhkan perjuangan panjang. Masyarakat masih berada dalam ketakutan mengeluarkan pendapat dan berekspresi dengan dalih GPK yang pada akhirnya juga menjadi proyek. Tindakan-tindakan refresif yang sering terjadi pada masa Orde Baru kadang mewarnai keseharian kita. Tekanan terhadap pers masih sering terjadi. Menarikan buku-buku dari pasaran masih terus terjadi. Jika, kata merdeka dan reformasi ditarikdekatkan di Papua, tentu akan mengisahkan banyak cerita yang bersimpul pada ”merdeka jauh”.

Orang Papua masih merasa dijajah secara politis (teritorial) tetapi juga kemerdekaan dalam bidang-bidang lain yang dicita-citakan para pendiri negara ini dirasa masih jauh. Menciptakan masyarakat Papua yang adil dan makmur pada usia Indonesia yang ke-63 ini masih butuh perjuangan panjang. Tentu akan melelahkan. Dewa penyelamat bernama Otsus itu hanya ratu adil yang tak tampak.

Pembangunan pendidikan, kesehatan, ekonomi sosial politik masih selalu menjadi keprihatinan bersama dalam tataran retorika, masih belum nyata. Belum lagi kita berbicara soal pembangunan sarana dan prasarana umum untuk masyarakat Papua. Rakyat Papua hingga saat ini masih merasa bahwa ’dua merdeka’— merdeka secara politis dan lepas dari Indonesia dan merdeka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia—adalah dua hal yang sama beratnya untuk tercipta. Merdeka jauh.

Berharap Papua ’Merdeka’

Berharap boleh-boleh saja. Namun, realitas berkata, harapan tetap terus menjadi harapan dan realitas sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan politik (dua merdeka) bagi rakyat Papua (baca=rakyat asli Papua) semakin menyakitkan. Harapan tidak pernah menggapai realitas sebelum kita menyadari bahwa ada kebenaran mendasar, yakni membangun masyarakat MANUSIA.

Komentar seorang bapak dan ibu pada bagian awal merupakan realitas sosial masyarakat kita. Realitas memprihatinkan bahkan menyakitkan yang berharap kemerdekaan. Seorang bapak melihat spanduk HUT RI. Tidak tahu apa yang dia pikirkan. Anak-anak tamatan SMA malah ke Universitas Pedalaman (UP), masyarakat mengelukan kualitas hidupnya (listrik, jalan, air bersih, harga kebutuhan pokok melangit, kota kita kumuh (secara sosial) dan kotor serta banyak tetek-bengek lainya).

Hampir setiap kantor-kantor dinas terlihat gapura dengan motif dan warna serta ukiran yang berbeda. Kota-kota di tanah Papua menjadi ”merah putih meriah eh”. Ini upaya positif kita untuk membangkitkan kembali hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya. Berbagai kegiatan diselenggarakan mulai dari kegiatan gerak jalan, lari maraton, dan kegiatan olahraga lainnya bertanda negara ini tetap eksis.”Merah putih meriah eh” dalam keadaan harapan akan ’Papua merdeka’ tanpa terus menderita lahir batin.

Papua ’Merdeka’

Kemerdekaan bagi orang Papua di dalam RI itu belum tampak. Juga kemerdekaan di luar RI masih di nusa. Maka orang Papua harus berharap ke depan. Berharap di usia RI yang ke-63. Orang Papua mungkin perlu merefleksikan kembali apa sesungguhnya merdeka. Merdeka itu telah mampir dan bersemayamkah?

Terpenting adalah usia RI ke-63 ini, kita berharap bahwa merdeka itu bukan hidup dalam ketidaktenangan, berbicara dengan ketakutan, hidup dalam berbagai keprihatinan, dan berbagai bentuk yang menganggap manusia lain adalah berada dalam kekuasaannya sehingga tidak boleh berbuat sekehendak hati. Kalau ciri yang terakhir ini masih terlihat dalam kehidupan berarti kita masih hidup dalam saling menjajah dalam usianya yang ke 63

Kita perlu membingkai kembali bahwa kata ’merdeka’ bahwa merdeka itu bukan cuma soal keadilan, penegakkan HAM, dan rasa aman. Juga bukan soal makan. Akan tetapi, seluruh hak dasar manusia, termasuk hak atas kesehatan reproduksi. Kalau tidak ada ruang kebebasan, semuanya tidak akan jalan. Bebas dari ketidakberdayaan karena pembangunan, bebas dari rasa dijajah dan penindasan. Maka, merdeka bagi orang Papua tidak hanya diselesaikan melalui Otsus. Otonomi Khusus mungkin hanya menjawab 50 persen (persoalan). Namun, persoalan hakiki bahwa orang Papua punya hak untuk masa depan.

Masa depan berkaitan dengan hal yang paling krusial: pendidikan masyarakat. Saat ini 70 persen rakyat Papua tidak menamatkan pendidikan dasarnya. Lebih separuh dari jumlah itu adalah perempuan. Apa arti kemerdekaan dan kebebasan tanpa kemampuan membaca dan menulis. Apa arti kebebasan kalau rakyat tetap saja bodoh? Bagaimana jika modernisasi menggerus otoritas manusia. Kita tak sempat merefleksikannya sehingga pikiran kita makin dalam terjajah (baca: Mandowen, 2001).

Jadi, Papua ’merdeka’ berarti pemenuhan hak-hak dasar rakyat Papua. Hak atas tanah, laut, udara tidak diperjual belikan; seluruh pelaku pembangunan wajib mengakui, menghargai, dan menjamin hak-hak adat masyarakat Papua, terutama hak hidup, hak kepemilikan, dan hak kesejahteraan adat Papua tanpa membedakan agama dan ras. Rakyat Papua terus berjuang ’dua merdeka’ (merdeka secara politis yang berarti lepas dari Indonesia dan merdeka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Rakyat Papua masih menanti berharap sambil terus menyanyi bersama Ebiet G Ade, ”Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu”. Tetapi, kapan Papua ’merdeka’ jika besok dan lusa masih harus menyanyi bersama Ebiet G Ade. Kapan Papua ’merdeka’ jika tahun depan masih harus berharap dan bersyukur atas waktu untuk merayakan HUT ke-64 RI dan masih berbicara tentang dewa penyelamat tak tampak, bernama Otonomi Khusus itu.

Posted on Agustus 17, 2008. Filed under: Politik |
Sumber : [www.kabarindonesia.com]

Exit mobile version