RI Harus Tolak Intervensi AS – Terkait Tekanan Pembebasan Filep Karma/ Yusak Pakage

JAKARTA – Langkah 40 anggota Kongres AS kepada Presiden SBY yang meminta kepastian pembebasan dua terpidana makar, Filep Karma dan Yusak Pakage, harus disikapi secara tegas.

Pemerintah harus menolak permintaan tersebut dengan berlandaskan argumentasi bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat yang berdasarkan atas hukum.

Ketua Komisi I DPR Theo L. Sambuaga mengemukakan, pengadilan telah memutuskan keduanya divonis bersalah. “Karena itu, sederhana saja. Surat yang meminta kepastian pembebasan mereka kita tolak saja,” ujarnya di Jakarta kemarin (10/8).

Theo mengemukakan, sebagai bagian dari diplomasi, selain menolak permintaan pembebasan tersebut, pemerintah idealnya bisa menjelaskan vonis yang telah dijatuhkan.

Dalam hukum di Indonesia, kalau tidak menerimakan keputusan pengadilan, kedua anggota OPM itu bisa mengajukan banding. “Bila belum puas juga, ada mekanisme hingga kasasi, kemudian peninjauan kembali,” kata politikus gaek Partai Golkar tersebut.

Kedua terpidana itu dijatuhi hukuman masing-masing 15 tahun dan 10 tahun penjara pada Mei 2005 dengan vonis melakukan aksi makar. Mereka terlibat dalam pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Abepura pada 1 Desember 2004.

Dalam surat tertanggal 29 Juli 2008, 40 anggota Kongres AS menilai kedua terpidana saat itu menggunakan hak mengeluarkan pendapat yang seharusnya dilindungi hukum.

Theo menambahkan, adalah hak anggota Kongres untuk menyikapi suatu hal. Tapi, juga hak Indonesia sebagai negara yang berdaulat untuk menunjukkan sikapnya.

“Dampak setelah penolakan dilakukan tidak perlu dikhawatirkan. Itu mungkin ekspresi politik yang mereka lakukan atas nama konstituen mereka,” lanjutnya.

Sementara itu, pejabat di lingkungan Departemen Luar Negeri menanggapi dingin surat Kongres AS tersebut. Jubir Deplu Teuku Faizasyah mengatakan telah mencatat concern dari Kongres AS itu.

Jubir Deplu juga menyatakan, surat tersebut bukanlah hal istimewa. Sebab, AS cukup sering memberikan surat semacam itu ke negara-negara lain jika ada suatu permasalahan yang menurut prespektif mereka tidak sesuai kaidah yang dianut.

Faizasyah juga menekankan bahwa Indonesia adalah negara yang menerapkan sistem demokrasi. Proses sidang juga dilakukan secara terbuka dan transparan dengan alat-alat bukti di lapangan. Hal itu harus dipahami oleh negara-negara asing.

“Pihak AS harus menghormati sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Penjatuhan sanksi kepada kedua terpidana telah dilakukan melalui proses hukum yang semestinya dengan peradilan yang independen,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), DR. Agus Alua, mengatakan, permintaan Konggres AS untuk membebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage itu sebagai hal yang wajar.

“Saya tidak tahu surat itu betul ada atau tidak, tetapi itu bukan hal yang baru dan wajar-wajar saja,” katanya saat ditanya Cenderawasih Pos di Kantor KPU Provinsi Papua, Sabtu (9/8).

Menurutnya, hal itu merupakan hasil proses yang sudah lama, dimana berbagai orang dan wartawan mengunjungi Konggres AS di sana, dan mungkin mereka memberi masukan kepada anggota Konggres AS. “Karena cara-cara mereka (Filep Karma dan Yusak Pakage) mengibarkan bendera itu bukan upacara kenegaraan atau apa, tetapi itu semacam untuk menunjukkan bahwa inilah symbol jati diri mereka. Tapi kemudian ditangkap,” tuturnya.

Ketua MRP berpendapat wajar, karena mereka itu bukan pemberontak atau pembunuh. “Ini ungkapan aspirasi di kota-kota yang dilakukan secara sopan, tapi ya itu, aparat Negara yang berlebihan. Sama dengan kejadian yang di Wamena hari ini (Sabtu, 9/8). Aparat keamanana punya cara kerja model-model begitu, tetapi perlu diketahui mereka itu bukan penjahat. Jadi wajar jika mereka dibebaskan,” ujar Alua.

Pihaknya menjelaskan, bendera Bintang Kejora sudah dilarang oleh Negara, namun Otsus memberikan peluang untuk itu dikibarkan sebagai bendera kultur. “Tapi kemudian Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 sudah melarang. Tidak boleh berkibar. Itu saja untuk mengingatkan mereka, kalau mereka buat lagi tangkap lagi. Jadi simple saja,” ucapnya.

Terkait kasus pengibaran Bintang Kejora di wamena yang berbuntut terjadi penembakan, Ketua MRP menyatakan, pengibaran di Wamena bukan direncanakan, karena setelah selesai acara, masyarakat spontan mengibarkan bendera itu. “Penekanan presiden supaya dilakukan pendekatan persuasive, tetapi sampai ada korban. Itu yang jelek. Masa orang tidak upacara, kasih tunjuk saja ditembak, itu aparat tidak lakukan persuasive. Itu jelek, harus diubah ke pola-pola penanganan persuasive,” pungkasnya. (jpnn/fud)

Exit mobile version