BAHAYA POLITIK ALIRAN: Aksi Demo : Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI)

Dari namanya organisasi ini menunjukkan bahwa dibelakang aksi penolakan syari’at Islam di Jayapura terdapat indikasi kuat, penggeraknya adalah bukan orang Papua asli. Apalagi bunyi spanduknya sudah menunjukkan pada kita sangat jelas, terang-benderang bahwa yang perlu perlindungan akan pelaksanaan syari’at adalah kaum minoritas Kristen Indonesia. Sebab selama ini mereka dikenal kelompok Islam phobia, kelompok takut di dalam NKRI, sehingga membutuhkan perlindungan tetap pada Pancasila dan UUD 45. Pertanyaannya sekarang adalah, adakah kebutuhan orang Papua pada Pancasila dan UUD 45, sebagaimana bunyi spanduk : ”Pancasila Yes, Syariah No”, ini? Jawabannya tidak! Selama ini wacana Syari’ah dan Islam phobia adalah wacana orang di Senayan ( DPR RI) Jakarta.

Wacana pelaksanaan syari’ah Islam oleh Partai Islam semisal PPP, PKS, PBB dan PBR yang takut di senayan selama ini adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) dan sebahagian PDI-P. Kalau begitu benarkah orang dari luar Papua yang berarti bukan orang Papua yang punya hajat dalam aksi penolakan syari’at Islam di Jayapura baru-baru ini di gedung DPRD dan Kantor Gubernur (Selasa, 05 Agustus 2008 ) kemarin? Jawabannya ya, tapi mengapa dilakukan di Papua? Karena di Papua mayoritas penganut agama Kristen Protestan di Utara dan Katolik di Selatan dan Islam di sentra-sentra kota.

Ini berarti aksi sepenuhnya digerakkan oleh oknum orang non Papua yang telah lama berkencimpung penyebaran agama dalam masyarakat orang Papua. Apa tujuannya? Melindungi diri sebagai minoritas takut, dalam mayoritas bangsa Indonesia yang memang sering menindas minoritas kristen. Kita tahu selama ini umat Kristiani dianiaya oleh saudara mereka yang mayoritas beragama Islam. Kejadian demikian pemandangan biasa di Indonesia selama ini.

Ambon Jilid II

Menarik dicermati, karena beberapa minggu lalu ada insinden di Cakung Jakarta Timur, oleh kelompok Islam garis keras (FPI?), bersama warga setempat melakukan aksi untuk menutup sebuah lembaga pendidikan tinggi theologia milik kelompok Kristen Indonesia. Karena ada dugaan para mahasiswanya melakukan kegiatan konversi agama dengan rayuan dan paksaan dogma kelompok itu kepada warga sekitar kampus. Tapi mengapa setelah kejadian di Jakarta Timur, kok yang direpotkan orang Papua? Adakah orang Papua mau mengerti apa yang baik pancasila atau syari’ah yang selama ini bukan wacana apalagi kebutuhan mereka sesungguhnya? Yang benar saja, bahwa sebernarnya orang Papua mau merdeka sama sekali terlepas dari kebutuhan minoritas masalah Indonesia.

Dalam gerakan Papua, Viktor F Yeimo, mencoba menganalisi adanya, gejala-gejala terkini yang menunjukkan sinyal adanya proses infiltrasi dalam kegiatan-kegiatan kerohanian (baca : Zionisme -Mossad Mengancam Papua Barat, Bagian II, http://cewehitammanis.blog.dada.net/post/1206966671/FRON-PEPERA.html).Dia menyebut ada infiltirasi oleh kelompok lain dalam gerakan perjuangan Papua. Apakah gejala yang dimaksudkan sesungguhnya nyata dibuktikan dalam penggalangan aksi demo FKKI oleh orang non Papua yang mendapati dirinya dalam negara mereka bernama Indonesia? Sebagai minoritas takut, mereka (orang kristen non Papua) lalu bersembunyi di balik keunikan Papua. Tapi mengapa kita terkesan membiarkan diri, ditanah air kita, Papua Barat, bagi munculnya politik sektarian (aliran) Indonesia yang tidak pernah selesai sejak pra prolamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dengan penghapusan tujuh kata bagi pelaksanaan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya itu?

Beberapa minggu lalu selama kunjungan penulis di beberapa kota di Papua termasuk di Jayapura, penulis bertemu dengan beberapa tokoh nasional Papua. Minggu berikutnya ada surat oleh kawan Amerika dan mengirim lengkap hasil wawancara Thaha Al-Hamid. Intinya dia bertanya adakah keadaan di Papua memang gawat darurat, sehingga sangat mengkhawatirkan sebagaimana di konstantir pemuka Papua? Saya jawab tidak, kondisi Papua sangat kondusif. Lalu siapa yang memainkan issu benturan antar agama di Papua sesungguhnya?

Piagam Jakarta (baca; penghapusan tujuh kata) tidak ada hubungannya dengan Papua. Tapi mengapa wacana ini mereka bawa ke Papua? Tapi juga mengapa mereka memanfaatkan kelemahan dam kelengahan orang Papua, yang sesungguhnya tidak peduli soal wacana mereka? Karena itu terus terang, kita merasa kecolongan. Mereka “memakai” orang Papua untuk kepentingan perlindungan diri mereka sebagai minoritas takut, dalam apa yang dinamakan nasionalisme NKRI, ataukah kelompok “hijau” bermain disini untuk mencari proyek baru?

Lalu mengapa orang Papua mau “dipakai” dan daerahnya dibiarkan digunakan untuk kebutuhan mereka? Mungkin rasa solidaritas. Tapi apakah sesungguhnya esensi kebutuhan Papua memang sebagaimana dinyatakan dalam bunyi spanduk yang tertulis : ”Pancasila Yes, Syariah No”, “Gubernur, DPRP berilah kami cenderamata Perdasi dan Perdasus sebagai jaminan janji imanmu bagi Tuhan dan rakyat Papua”. Apakah memang benar orang Papua butuh Pancasila, UUD, Syari’ah ataukah “M” yang sesungguhnya?

Intelek Papua bukan terjerumus tapi dijerumuskan oleh pihak lain, mereka, sebagai minoritas dalam mayoritas lain. Tapi aksi ini sendiri dapat dibiarkan berjalan lancar, tidak sebagaimana selama ini lima-sepuluh orang berkumpul saja di cegah, dihalang-halangi. Kemana fungsi intel dan pengawasan militer sehingga sekian ratus orang bisa berkumpul? Atau siapa penggerak sesungguhnya dan apa tujuan yang ingin di capainya? Ambon jilid II, sebab wacana konstitusi NKRI, adalah urusan politisi Indonesia di Senayan (DPR RI) Jakarta, bukan, jadi seharusnya jangan, perhatian penting orang Papua sehingga menggelar aksi segala.

Menetapkan Pancasila dan menolak syari’ah benar mau, tapi sama sekali bukan kebutuhan dan hakekat kehendak orang Papua mendesak soal itu. Apalagi tuntutan orang Papua selama ini sesungguhnya bukankah bukan merdeka? Bukan Otsus, agama, Pancasila, UUD apalagi Syari’ah? Siapa yang diuntungkan dengan aksi demo besar di kantor gubrnur dan DPRD Papua? Yesus, Muhammad, ataukah itu kebutuhan dasar orang Papua? Apakah dengan demikian Yesus bahagia ataukah muhammad sedih karenanya? Lalu sebenarnya yang butuh Papua ada Syari’ah itu siapa? Bukankah Papua statusnya sebagai Otsus?

Apakah para intelek Papua terlalu bodoh membiarkan diri dan wilayahnya di pakai sebagai kendaraan bagi wacana politik sektarianisme dan kebutuhan perut minoritas Kristen Indonesia? Apakah intelektual Papua memperlakukan dirinya benar mau “dipakai”. Demikiankah orang Papua perlakukan diri dan daerahnya oleh orang lain? Atau diperlakukan bodoh, pada kepentingan dan kebutuhan diluar kebutuhan asasinya? Bukankah sesungguhnya Muhammad, Yesus, tidak untuk dimakan tapi hanya ajaran kebenaran dan kebaikan semata? Yesus tidak gembira dengan aksi atas nama agama yang dia bawa itu, demikian Muhammad tidak sedih dan menangis dengan gagalnya pelaksanaan syari’at. Tapi mereka dua sebagai pesuruh dan utusan Tuhan datang kedunia hanya menyuruh kita percaya, selesai!

Aktor Dibalik Aksi

Dibalik semua aksi, ”Pancasila Yes, Syariah No”, di Jayapura Papua, sesungguhnya dibelakangnya ada partai politik. Partai politik itu bermain dan mendanai aksi. Karena beberapa hal, pertama bahwa Papua bagi partai sektarian adalah basis pendulang suara dalam pemilu 2009 nanti, kedua, beberapa partai politik berasaskan syari’at islam memajukan caleg DPR/DPRD Tk I-II, orang-orang pribumi Papua. Jika Partai asas islam semisal PBB, PPP, PBR dan PKS memajukan calegnya asli orang Papua pasti akan menang dalam pemilu 2009 nanti. Maka aktor dibalik aksi, selain kecolongan tapi juga terbantahkan tesis selama ini yang mengatakan dominansi nilai spritual dari luar yang baru.

Dominasi nilai agama (baca: Fanatisme kepemelukan agama) sebagaimana dugaan orang luar selama ini, bahwa Papua identik dengan kelompok spritual tertentu. Tapi dengan adanya caleg-caleg partai asas islam dominan putra daerah, maka partai itu pasti akan menang dalam pemilu tahun 2009 nanti dan didukung rakyat Papua. Karena itu jika parpol berasas islam menang di pegunungan Papua nanti, maka asumsi bahwa Papua dominan nilai primordialisme spritual tertentu tidak dipertahankan lagi. Itu artinya Partai politik sektarian yang selama ini mendulang suara sudah tidak mungkin lagi mendapat dukungan mayoritas Kristen Papua.

Tapi kenapa kaum intelek Papua, utamanya dari kaum teolog terlalu bodoh memperlakukan diri mereka sendiri sebagai tidak tahu kalau dirinya bukan itu?
Apakah memang sesungguhnya orang Papua terlalu butuh dengan Yesus dan Muhammad? Bukankah kebutuhan orang Papua mau merdeka, bukan urus Pancasila, UUD dan syari’ah? Bukankah itu bukan wacana Papua sesungguhnya?

Ada kesan, tidak sebagaimana selama ini, warga gereja tidak ada masalah, malah bisa bebas, menggalang massa. Tapi mengapa pemerintah dan TNI/POLRI Papua kecolongan sekian banyak orang terlibat aksi damai bisa dibiarkan? Benarkah alasan ini, karena memang, orang Papua bukan mau merdeka tapi urus barang-barang milik Indonesia (Syari’ah, UUD dan Pancasila). Lalu nasib Papua Merdeka bagaimana?

Tegakah intelek Papua membiarkan daerahnya di jadikan tikus percobaan? Papua kita yang memang benar mayoritas Kristen Protestan dan Katolik sebelum Islam, tapi maukah daearh kita di jadikan kelinci percobaan pertarungan politik primordialisme Indonesia? Maukah kita membiarkan diri Papua di jadikan landasan bukan kebutuhan Papua tapi kebutuhan mereka? Papua memang tidak, sama sekali tidak butuh syari’ah, tapi betulkah Papua butuh Pancasila, UUD 45? Apa sih yang dibutuhkan Papua sesungguhnya? Muhammad?, Yesus?, Merdeka?, Pancasila?,UUD 45? Ataukah Hidup Merdeka, Damai Sejahtera? Kita bingung disini !!!

Exit mobile version