Korban HAM Timor Timur Masih Bisa Tempuh Jalur Internasional

TEMPO Interaktif, Jakarta:Korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Timor Timur masih bisa mencari keadilan melalui jalur internasional. Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim mengatakan, mekanisme internasional tersebut yakni mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membuka peradilan internasional terhadap pelaku pelanggaran HAM. ”Selain, perlu juga diketahui bagaimana sikap Sekretaris Jenderal PBB atas hasil kerja Komisi Kebenaran dan Persahabatan dan komisi ahli PBB yang memantau proses penegakan hukum di pengadilan HAM sebelumnya,” ujar Ifdhal saat dihubungi Tempo, Rabu (16/7).

Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste telah menyerahkan laporan akhir tentang temuan pelanggaran berat hak asasi manusia sebelum dan setelah jajak pendapat di Timor Leste, September 1999. Komisi yang dibentuk sejak 11 Agustus 2005 itu menyerahkan laporannya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta, dan Perdana Menteri Timor Leste Kay Rala Xanana Gusmao di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/7) kemarin. Kedua negara bersepakat tidak melanjutkan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum dan sesudah jajak pendapat ke proses hukum.

Ifdhal mengatakan, hasil pantauan komisi ahli PBB pada tiga tahun lalu merekomendasikan agar dibentuk pengadilan internasional atau pengadilan campuran dan pengadilan nasional yang di dalamnya ada unsur internasional, misalnya salah satu hakimnya adalah hakim asing.

Sementara hasil Komisi Kebenaran dan Persahabatan yang disampaikan kepada kedua negara, menurut dia, menyebutkan terjadi pelanggaran HAM dan mengusulkan agar kedua negara melakukan pemulihan terhadap para korban. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Timor Leste Ramos Horta menyesalkan peristiwa itu dan tidak menindaklanjuti ke ranah hukum.

Namun upaya melalui jalur internasional ini, kata Ifdhal, membutuhkan waktu panjang. Alasannya, kedua negara sudah sepakat untuk tidak membawa masalah ini ke pengadilan. ”Secara politis sudah tertutup kemungkinan itu,” ujarnya.

Komnas, kata dia, juga tidak bisa menindaklanjuti laporan KKP karena komisi itu menggunakan laporan dan hasil investigasi Komnas sebagai dasar klarifikasinya. Lagipula, lanjut Ifdhal, prosedur penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM akan dilimpahkan ke kejaksaan. Sedangkan kejaksaan adalah alat pemerintah dan bekerja atas perintah presiden serta pembentukan pengadilan HAM ad hoc pun perlu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. ”Jadi tidak bisa menggunakan mekanisme nasional,” katanya.

Rini Kustiani

Exit mobile version