Menggugat Eksistensi G-8

Oleh Bawono Kumoro

Pada 7-9 Juli 2008, G-8 (Group of Eight) menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Toyako, Hokkaido, Jepang. Sebagaimana pertemuan-pertemuan sebelumnya, KTT ini berpotensi menuai berbagai kontroversi dan resistensi global, terutama terkait dengan masalah kemiskinan dan krisis pangan.

Group of Eight adalah kelompok negara industri maju yang terdiri dari Amerika Serikat (AS), Inggris, Jerman, Prancis, Italia, Rusia, Kanada, dan Jepang. Secara historis terbentuknya “sindikat” antarkepala negara ini dilatarbelakangi oleh motif ekonomi politik. Dalam hal ini, resesi global dan krisis minyak.

Tidak seperti organisasi-organisasi transnasional lainnya, secara de jure G-8 tidak memiliki sistem administrasi yang baku. Hal tersebut tak lain disebabkan status G-8 yang sesungguhnya lebih bersifat informal. G-8 bukanlah organisasi internasional yang berdasarkan pada suatu piagam atau pakta internasional tertentu, tetapi tidak lebih dari sebuah forum atau kongsi tidak resmi yang dibentuk oleh segelintir elite pemegang kendali struktur kekuasaan dunia. Setiap keputusan dan kebijakan diformulasikan sebagai sebuah komitmen politik anggota-anggotanya.

Meskipun begitu, secara de facto G-8 telah menjadi semacam unofficial world government. Tak dapat dimungkiri bahwa negara-negara yang tergabung dalam G-8 merupakan the world’s most powerful leader, terutama dari segi ekonomi. Berbagai lembaga moneter dan keuangan internasional berada di bawah pengaruh kelompok ini. Sebut saja, misalnya, International Monetary Fund (IMF) yang sekitar 50 persen asetnya dikuasai oleh G-8.

Kehadiran G-8 memang telah berhasil mereduksi prasangka di antara negara-negara kaya. Meskipun begitu, pertemuan-pertemuan G-8 tetap saja selalu mengundang berbagai kecurigaan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari maraknya aksi dari para aktivis antiglobalisasi yang hampir tidak pernah absen mewarnai pertemuan G-8.

Penilaian Negatif

Dalam pandangan penulis, maraknya aksi protes yang sering mewarnai pertemuan G-8 terkait erat dengan track record dari kelompok itu sendiri. Track record yang selama ini telah ditorehkan oleh G-8 ternyata cenderung tidak berbanding lurus dengan citra mereka sebagai negara maju. Alih-alih ingin meyakinkan masyarakat dunia dalam peningkatan ekonomi dan stabilitas politik keamanan global, tapi ternyata negara-negara anggota G-8 sering menemui kesulitan dalam menghadapi berbagai persoalan besar di lingkungan internalnya. Pada titik inilah, wajar kiranya jika kemudian muncul penilaian negatif terhadap G-8, bahwa mereka tidak lebih dari sekadar sekumpulan penguasa global yang tidak mampu menjawab tantangan-tantangan dunia kontemporer.

Berbagai janji dan program yang mereka gulirkan hanya sebatas pepesan kosong belaka. Mereka lebih asyik dan sibuk mengurus kepentingan pribadi masing-masing. Kebijakan yang dihasilkan minim dengan solusi bagi krisis masyarakat dunia tidak jarang justru kian memperburuk keadaan.

Raison d’etre dari G-8 adalah mempertahankan keterbukaan wawasan, kawasan, dan perdagangan bebas demi perbaikan ekonomi dunia pasca-krisis. Namun, dalam perjalanannya yang terjadi justru sebaliknya, G-8 kian hari kian menampilkan citra yang eksklusif dan proteksionis. Political will mereka dalam mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik dan adil terbilang sangat rendah. Sejatinya, G-8 harus merumuskan format perekonomian global yang berorientasi pada proses pencerahan dan kebangkitan ekonomi dunia, termasuk di dalamnya bagaimana memberikan kontribusi yang optimal bagi negara-negara miskin.

Realitas dewasa ini jauh dari hal itu. Regulasi-regulasi global, selama ini, dirasa hanya menguntungkan negara-negara anggota G-8 an sich, sehingga tak heran jika akumulasi jumlah negara miskin makin bertambah. Hak-hak negara miskin cenderung diabaikan dan dikebiri.

Jurang ketimpangan yang disimbolkan oleh adanya pemusatan kekuasaan ekonomi dunia pada segelintir elite tak kunjung berubah secara signifikan. Tidak adanya redistribusi sumber daya menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa negara-negara miskin tetap dihantui oleh wabah penyakit, utang, dan penderitaan yang tak berkesudahan.

Hanya Kamuflase

Jika kita mau jujur pada sejarah, sejak dulu ketika masih bernama G-6, lalu G-7, dan kini G-8, tidak ada iktikad sungguh-sungguh yang ditunjukkan oleh negara-negara maju untuk memperjuangkan dunia menuju tatanan yang lebih baik dan adil.

Perhatian G-8 terhadap negara-negara berkembang hanya sebuah kamuflase untuk dapat lebih banyak mengeruk keuntungan. Salah satu senjata yang digunakan oleh G-8 untuk menekan negara-negara berkembang ialah dengan melalui isu pemanasan global. Dengan dalih isu pemanasan global, negara-negara maju dapat menekan negara-negara berkembang yang memerlukan bahan bakar karbon untuk memacu gerak laju industrinya. Sementara itu, sejumlah anggota G-8, seperti AS, masih setengah hati untuk mengurangi emisi.

Membicarakan arah G-8 sama sulitnya dengan membicarakan ketimpangan global dan prospek globalisasi bagi masyarakat dunia. Ketidakpedulian G-8 atas nasib dunia sesungguhnya hanya akan semakin menyulitkan posisi mereka sendiri. Resistensi global terhadap eksistensi G-8 akan semakin menggurita selama kelompok negara-negara industri maju tersebut terus memainkan peran sebagai penentu sepihak nasib negara-negara berkembang dan terbelakang.

Dalam konteks itu, sangat tepat jika kemudian timbul persepsi bahwa hasil pertemuan puncak G-8 tidak akan jauh berbeda dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, yakni hanya akan berpihak pada kepentingan negara-negara maju. KTT G-8 tak ubahnya seperti forum transaksi komoditas dan kepentingan politik negara-negara maju.

Penulis adalah alumnus Ilmu Politik UIN Jakarta dan Analis Politik pada Laboratorium Politik Islam UIN Jakartas

Last modified: 8/7/08

Exit mobile version