Pangdam: MRP Sebaiknya Jangan Masuk Ranah Politik

Parpol Nilai Ancaman MRP Terlambat

JAYAPURA-Sikap MRP (Majelis Rakyat Papua) yang mengancam akan Pemilu 2009, apabila pemerintah tidak mengindahkan soal keterwakilan perempuan dan 11 orang Papua di DPR Papua, juga ditanggapi Pangdam XVII/Cenderawasih.

“Saya tidak berpikir untuk mencampuri urusan orang lain. Tapi kalau ingin saya sampaikan bahwa sebaiknya MRP meletakkan pada posisinya sesuai dengan fungsi dan peran yang diamanatkan dalam undang-undang. Itu saja,” kata Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Haryadi Soetanto kepada wartawan di Makodam, Rabu (3/7) kemarin.

Apalagi, kata Pangdam Haryadi Soetanto, Undang-Undang telah mengamanatkan kepada MRP dalam kaitannya pengurusan terhadap pemberdayaan perempuan, masalah yang berkaitan dengan adat istiadat dan agama, sehingga Pangdam meminta agar hal tersebut ditekuni terlebih dahulu. “Tekuni itu dulu, jangan masuk ke dalam ranah politik,” sarannya kepada MRP.

Pangdam berpendapat bahwa jika ingin memberikan komentar boleh saja, siapapun warga Negara Indonesia boleh memberikan komentar, tetapi tidak memberikan suatu keputusan. Ia menilai bahwa ke depan kondisi keamanan di Tanah Papua akan semakin kondusif, bahkan Pangdam mengaku mempunyai keyakinan akan kondusifnya di wilayah Tanah Papua ke depan, selama semua saling bekerjasama, saling bahu-membahu.

“Saya yakin akan semakin kondusif, jika ada kerjasama, termasuk rekan-rekan wartawan tidak memberitakan sesuatu yang bisa menimbulkan suatu kondisi yang tidak nyaman, bisa memicu seseorang yang berbuat tidak pada tempatnya dan pemberitaan itu dilakukan dengan fakta yang berimbang serta lebih pada hal-hal yang bersifat konstruktif, sehingga saya yakin kondisi ini akan tenang,” ujarnya.
Suasana yang kondusif dan nyaman ini, kata Pangdam, bukan untuk pihaknya saja atau untuk satu dua orang saja, tetapi untuk seluruh masyarakat yang ada dan hidup di Tanah Papua. “Saya tidak melihat bahwa itu akan mengganggu keamanan di Papua,” tukasnya.

Sementara itu, soal rencana DPRP untuk melakukan uji publik terkait perdasi dan perdasus apakah sudah dibicarakan dengan Kodam XVII/Cenderawasih? Pangdam mengakui belum ada. “Sampai saat ini belum ada. Kita serahkan kepada lembaga yang membuat Undang-Undang. Tentu saja Undang-Undang itu, sebelum diundangkan perlu disosialisasikan dan diuji,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, ada lembaga-lembaga dan pejabat yang menangani masalah itu, namun jika memang ada kaitannya dengan masalah keamanan negara, seharusnya memintakan pendapat kepada TNI yang ada di Papua, dalam hal ini Kodam XVII/Cenderawasih.

Parpol Nilai MRP Terlambat ///

Ancaman boikot pemiluh oleh MRP juga mendapat reaksi dari sejumlah ketua Parpol.

Ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) Yanni misalnya, ia mengatakan bahwa sejak dulu pihaknya sudah konsisten terhadap pelaksanaan Undang Undang 21/2001 khususnya yang menyangkut pasal 28 yang mengharuskan prioritas bagi orang asli Papua itu. “Memang itu sudah menjadi komitmen kita bahwa orang asli Papua harus mendapatkan prioritas untuk menduduki kursi legislative,” katanya kepada Cenderawasih Pos kemarin.
Tetapi persoalannya baru dibicarakan sekarang ini sepertinya sangat sulit sebab sejumlah aturan dan perundang-undangan yang terkait pelaksanaan Pemilu 2009 seperti UU Parpol dan UU Pemilu 2009 sudah keburu ditetapkan dan disahkan sejak beberapa bulan lalu. “Jadi mungkin agak terlambat,” imbuhnya serius.

Kata Yanni kalau memang MRP hendak memperjuangkan 11 kursi untuk orang asli Papua itu, harusnya sebelum semua aturan dan perundang-undangan itu ditetapkan sehingga dapat diakomodir dalam aturan itu. Tapi sayangnya selama ini MRP tidak pernah memperjuangkan itu, padahal itu adalah tugas utama mereka yakni memberikan proteksi dan perlindungan kepada orang asli Papua.

“Jadi kalau saya lihat, kalaupun sekarang ada, maka semangatnya itu tidak konsisten dan hanya muncul di permukaan bicara sesaat dan setelah itu bias dan hilang lagi,” katanya.

Ditanya kenapa hal itu tidak ikut diperjuangkan oleh legislatif mengingat dewan memiliki hak inisiatif dan hak legislasi, Yanni mengatakan bahwa selama ini pihaknya baik di Partai (PBR) maupun di Komisi A juga sudah seringkali diusulkan tetapi cenderung tidak ditindaklanjuti. Yang ada kata dia, diantara elit politik maupun MRP hingga eksekutif terkesan tidak serius. “Jadi ide itu ada tetapi tidak ditindaklanjuti,” imbuhnya.
Selama rentang waktu hampir 8 tahun Otsus berjalan tentunya aneh jika hal sepenting itu tidak juga dilaksanakan. Boikot Pemilu tentunya bukan sebuah jalan keluar, karena satu-satunya jalan adalah dengan menseriusi masalah ini dan mau konsisten dan bekerja keras. “Jadi kalau memang ingin memperjuangkan itu, kami mohon dukungan semua elemen masyarakat karena ketika PBR kuat maka cita – cita itu pasti terwujud,” katanya sedikit berkempanye. Ia juga mengajak MRP dan semua pihak untuk duduk sama-sama dan semua harus mau kerja keras sehingga harapan dan keinginan itu dapat terwujud.

Sementara itu, Ketua Bidang Organisasi Karderisasi dan Keanggotaan (OKK) Partai Golkar Yance Kayame, SH menanggapi statemen Ketua MRP itu dengan sedikit guyon ia mengatakan bahwa terlambat bagi MRP untuk menyampaikan itu. “MRP itu sudah terlambat, harusnya dari dulu, kalau MRP mau konssisten perjuangkan hak – hak orang asli Papua,” katanya.

Menurut dia, sejak dilantik tahun 2005 lalu sebagai lembaga representase cultural orang asli Papua harusnya MRP sudah mendorong dan melaksanakan tugas untuk mengakomodir hak – hak orang asli Papua itu. Bukan setelah semua Parpol dan semua perangkat aturan tentang Pemilu dan Parpol ditetapkan baru statemen itu dikeluarkan. Namun begitu sesungguhnya tidak ada masalah kalau sekarang MRP mempertanyakan hal itu ke KPU hanya saja berkali – kali ia menagaskan bahwa semuanya telah terlambat bahkan sangat terlambat.

Kata Yance Kayame, memboikot Pemilu bukanlah jalan keluar sebab Pemilu itu adalag agenda nasional. “Tidak seharusnya mau boikot Pemilu, selama ini MRP juga belum bekerja maksimal apalagi sampai urus masalah ini, waktunya sangat mempet baru mau bicara, jadi kami sangat sayangkan,” katanya.

Ia hanya menyarankan agar MRP sebaiknya mengambil langkah – langkah aktif membicarakan masalah ini dengan pemerintah pusat dan daerah termasuk dengan KPU sendiri. “Karena seperti saya bilang tadi, sudha terlambat,” tandasnya.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Provinsi Papua Ramses Wally, SH yang ditemui Cenderawasih Pos kemarin juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda. Sembari bernyanyi ia mengatakan kalau MRP sangat terlambat. “Terlambat sudah, terlambat sudah, semuanya telah berlalu,” katanya menirukan syair lagu Panbers.

Kata Ramses Wally, kalau MRP benar – benar memperjuangkan hak – hak masyarakat Indonesia yang asli Papua seharusnya sejak dilantik dulu sudah menyusun agenda ini, sehingga bisa dilaksanakan dengan baik. Tetapi selama MRP dilantik, MRP dilihatnya tidak pernah membicarakan masalah itu. “Tapi ini setelah semuanya sudah ditetapkan baru MRP mau bicara begitu, sementara semua Parpol sudah diverivikasi sekarang kita tinggal menunggu nomor urut baru MTP kaget mau boikot Pemilu seperti baru bangun tidur saja,” tuturnya.

Kata Ramses, kalau MRP mau boikot Pemilu itu bukan cara yang jentelmen dan lagi, Pemilu itu adalah agenda nasional. “Jadi suka tidak suka atau mau tidak mau semua tetap harus ikut,” tandasnya.(ta)

Exit mobile version