Kisah Mantan Aktivis Gerakan Papua Merdeka yang Kembali ke Pangkuan NKRI (bagian-1)

40 Tahun Melobi Negara Luar, Tidak Ada yang Terealisasi. Nicholas Simion Messet dan Frans Albert J, Franzalbert F.A Joku adalah sebagain dari para pejuang gerakan Papua Merdeka atau OPM, tapi kini mereka berbalik arah ingin menjadi bangsa Indonesia yang hakiki. Apa yang membuat kedua orang radikal ini berbalik arah dan bagaimana perjuangan mereka untuk gerakan Papua merdeka. Simak juga keinginan pejuang OPM lainnya yang ingin kembali ke pangkuan NKRI tetapi belum terwujud.

Laporan RAHMATIA

Perjuangan itu begitu melelahkan tetapi tak jua terwujud, begitu kata Nick Messet tentang perjuangannya untuk gerakan Papua merdeka. Bagaimana tidak, puluhan tahun sejak tahun 1969, ia menanggalkan identitasnya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dan berjuang untuk mewujudkan Papua merdeka untuk lepas dari NKRI, namun toh hingga detik ini usaha itu tak kunjung berhasil. Padahal berbagai cara telah dilakukan untuk mewujudkan impian yang kian meredup itu.
Messet lahir di Keder Sarmi 1946 silam dari keluarga yang cukup terhormat, ayahnya pernah menjadi Bupati Kabupaten Jayapura Thontje Messet (1975 – 1982). Awalnya Messet adalah seorang putra Papua yang cerdas pernah kuliah di ITB. Usai meraih gelar sarjana muda Arsitek, Messet pulang ke Papua dan dijanjikan untuk kuliah di Amerika Serikat, tetapi rencana itu kemudian batal tanpa alasan yang jelas oleh pemerintah. “Saya lalu berpikir kalau kita tinggal dengan bangsa yang jahat (Republik Indonesia, red) akan sangat berbahaya,” kisahnya menerawang.

Tahun 1966, Messet lalu meminta restu ayahnya untuk sekolah pilot di Sekolah Penerbangan Nasa (Nationwide aviation space academy) di Australia dan lolos hingga ia menjadi penerbang. Lulus dari sekolah itu dan melihat situasi politik Papua ketika itu yang labil khususnya menjelang pelaksanaan PEPERA, ia berpikir untuk ikut berjuang bagi kemerdekaan Papua atau West Papua. Lalu bergabung dengan gerakan – gerakan separatis yang menentang pemerintah RI. Jabatan Messet ketika itu adalah sebagai Koordinator di wilayah Perbatasan yang memberikan kartu identitas bagi anggota GSP/OPM yang hendak menyeberang ke Papua New Guinea (PNG).

Selain sebagai koordinator, Messet juga ketika itu bertugas memberikan saran dan usul dan ide kepada OPM sehingga ia diangkat menjadi pejabat penghubung. Ketika menjadi pejabat penghubung ini, Messet pernah tertangkap beberapa kali oleh aparat karena terbukti membantu kegiatan separatis khususnya menjelang pelaksanaan PEPERA.
Messet menjadi pejabat penghubung di perbatasan selama 10 tahun, 1979 ia dipindahkan ke Swedia setelah empat kali dideportasi oleh pemerintah RI kemudian terakhir PNG. Pemerintah PNG mendeportasi Messet karena tertangkap basah di Vanimo pada 27 September 1978 ketika menyelundupkan 2 orang tokoh utama OPM di perbatasan yakni Yacob Prai yang kemudian berjuang di Swedia dan John Otto O di Vanuatu. “Kedua tokoh ini saya selundupkan untuk bertemu dengan Perdana Menteri PNG Michael Somare, sebab ketika itu ada rapat penting di negara itu yang diagendakan akan membahas masalah Papua,” kenangnya. Hingga akhirnya Messet dideportasi oleh pemerintah PNG ke Swedia.

Di Swedia, hanya berbekal semangat, Messet terus berjuang, untungnya pemerintah Swedia sangat demokratis dan mau membiayai hidupnya yang pengangguran ketika itu namun harus berusaha untuk mencai pekerjaan. “Di Swedia, pengangguran seperti kita di jamin hidupnya oleh pemerintah,” ujarnya.
Messet terus melakukan kampanye dan melakukan lobi – lobi internasional untuk membantu kemerdekaan West Papua. Dalam lobi internasionalnya itu, Messet antara lain bertemu dengan Direktur KGB Rusia di Moskow Yuri Antropov pada September 1982. ketika itu, ia dijanjikan oleh Yuri akan membantu kemerdekaan West Papua dengan mengirimkan senjata melalui Vietnam Utara, namun rencana ini batal karena Tuhan punya rencana lain, Yuri keburu meninggal dunia. “Padahal waktu itu saya sudah senang karena Rusia mau membantu Papua untuk merdeka, Yuri meninggal dunia,” ujarnya pelan.
Selain ke Rusia, Messet juga menemui tokoh – tokoh penting di negara Pasisfik baik di Vanuatu, Nauru, Jerman, Ukraina, Vietnam, Belanda, Cekoslovakia, Jepang sampai ke PBB.
Messet kemudian menjadi pilot ditahun 1974, setelah tamat dari Sekolah Penerbang di Australia. Meski sekolah di Australia, Messet tidak pernah melobi pemerintah Australia untuk membantu Papua Merdeka, keinginannya di Australia hanya belajar meski sesekali melakukan kampanye. “Kenapa saya terus belajar menjadi pilot, karena niat saya sampai detik ini, saya mau buktikan bahwa kita orang Papua pintar – pintar,” tukasnya dengan semangat. Sejak itu ia menjadi bekerja pada Maskapi Air Nuigini namun tetap bekerja untuk OPM hingga akhirnya ia kembali di deportasi ke Swedia.
Tahun 1985 ia diajak oleh pemerintah Vanuatu untuk menjadi pilot di Air Vanuatu hingga tahun 1988, tetapi karena terjadi konflik dalam negeri di negara itu, Messet juga menjadi korban, Messet kembali lagi ke Swedia hidup sebagai pengangguran.

Selama di Swedia, Messet sempat bertemu dengan tokoh GAM Hasan Tiro dan Zainal “Saya pernah bawa Zaenal ke Rusia, tapi Yuri (direktur KGB Rusia) tidak mau ketemu dengan tokoh GAM,” ujarnya.
Tahun1994, Messet menyempatkan diri kembali ke West Papua (RI) untuk bertemu kerabatnya di tanah air, ketika ia kembali ke PNG. Saat itu PNG telah dipimpin oleh Julius Chan dan situasi politik di negara itu sudah berubah. Ia menghubungi rekannya Franzalbert Joku untuk menfasilitasi dirinya kembali ke tanah Papua melalui PNG. “Saya kontak pak Franz minta difasilitasi kepulangan saya,” ujarnya.

Perdana Menteri Julius Chan rupanya menyambut positif kepulangan Meset dan disambut positif, pada tahun 1994 ia meninggalkan Swedia dan sejak itu ia kembali berdomisli di Port Moresby. “Setelah di Poprt Moresby Chan perintahkan pencabutan surat deportasi saya,” katanya. Di Port Moresby ia bergabung dengan Nation Air dan kembali bekerja sebagai pilot di Maskapai itu.

April 1994, untuk pertama kalinya Messet masuk ke Jayapura setelah melalui proses yang cukup rumit. “Saya sebenarnya ketika itu sudah ingin kembali menjadi WNI karena waktu itu Papua sudah jaya diera Orde baru, tapi keinginan saya itu tidak ditanggapi serius oleh pemerintah RI,” katanya. Akhirnya Messet tetap komit pada perjuangannya untuk mewujudkan Papua Merdeka.

Tahun 1997, secara kebetulan Messet bertemu dengan Fredy Numberi yang ketika itu menjadi Gubernur Papua, ia lalu diperbantukan untuk urusan ke PNG, tetapi setelah Numberi diangkat menjadi menteri, ia berhenti. Ia lalu kembali ke Australia dan aktif kembali pada kegiatan politiknya.

Tahun 2000, tepatnya bulan Februari, bersama Franz Joku, Theys Eluai, Tom Beanal dan tokoh – tokoh lainnya mereka menggelar Musyawarah Besar di Sentani yang disusul dengan Kongres Papua bulan Mei 2000 dan mambentuk Presidium Dewan Papua (PDP). Pada Kongres itu, Messet membawa 130 orang West Papua dari PNG (panel pasifik).

Setelah kongres Messet bersama Frans Joku ditugaskan PDP sebagai moderator urusan internasional, hingga saat itu kampanye Papua Merdeka terus ditingkatkan di tingkat internasional.

15 Juni 2000 Messet kembali ke Port Moresby, disponsori pemerintah Nauru salah satu negara di Pasifik Island, Messet boleh kemana saja untuk melakukan lobi internasional dan puncaknya adalah milleniun summit PBB di New York dan pada September 2000 pimpinan PDP They Hio Eluai, Tom Beanal dan 11 putra Papua lainnya salah satunya Yoris Raweyai menuju New York dan berikutnya pimpinan dan delegasi PDP menghadiri Pasifik Island Forum di Kiribati, disini dikeluarkan satu resolusi pasal 17 yang dalam komunikenya menyatakan keprihatinan bangsa – bangsa itu atas gejolak di Papua dan mendorong tokoh – tokoh politik Papua dan pemeirntah RI untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai. “Tapi sebagian orang menterjemahkan salah,” imbuhnya.

Disitu juga komunike itu disambut baik. Dan selanjutnya Indonesia menjadi anggota Post Forum Dialogue Partner dan ditindaklanjuti dengan pertemuan negara – negara di Pasifik. Bersamaan dengan itu, Undang Undang 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua lahir. “Otsus adalah buah perjuangan aspirasi Papua Merdeka,” katanya.

Hingga tahun 2001, Papua kembali bergolak menyusul terbunuhnya Pimpinan PDP Theys Hio Eluay. Kejadian ini membakar hati masyarakat Papua tak terkecualil Messet. Tahun 2003, ia ke Australia dan terus melakukan kampanye politiknya dan pada bulan Mei ia ke Cekoslovakia untuk misi Gereja dan kembali melalui Singapore dan kembali lagi ke Australia. Tetapi di jalan ada yang mengajaknya ke Jakarta, 11 Juli 2005 Messet kembali bertemu Fredy Numberi dan mengajaknya untuk bekerja di bidang perikanan hingga akhirnya tahun 2006 ia diajak Gubernur Barnabas Suebu.
Messet mengatakan, dalam menyelesaikan masalah Papua tokoh – tokoh Papua memiliki dua pandangan. Kalangan OPM seperti Zet Rumkorem dan Yacob Prai menginginkan masalah Papua diselesaikan melalui jalur konfrontasi militer. “Tapi kami memilih cara dialog yang damai dan sepertinya itu berhasil,” ujarnya.

Masalah Papua terus menggelinding hingga menjadi perhatian intenasional tetapi sejalan dengan itu, hati Messet juga terpanggil untuk kembali menjadi bagian dari Bangsa Indonesia. “Hati saya untuk pulang sebenarnya sudah ada ketika bertemu dengan pak Fredy,” ujarnya. Dan puncaknya, ia meminta Fredy Numberi untuk menjaminkan kepulangannya itu. Namun Numberi tak bisa memberikan jaminan sebab apa yang akan dilakukannya itu adalah issu yang sangat sensitive. Hal yang sama juga dilakukan oleh Gubernur Suebu. “Tapi saya sadar, saya tidak ingin melibatkan pak Bas dan pak Numberi,” imbuhnya.

Untungnya melalui pendekatan – pendekatan yang dilakukan melalui KBRI (kedutaan besar RI) di Port Moresby kepada pemerintah pusat di Jakarta, ia bertemu dengan pejabat penting di KBRI Pratito Soeharyo dan Frans Pampo yang didukung oleh Dubes RI di Port Moresby Brigjend TNI Bom Soeyanto. Mereka menjembatani Messet untuk berinteraksi dengan Jakarta.

Jakarta menyambut positif tetapi tidak langsung mengiyakan, kembalinya Messet diuji dengan menemui Eny Faleomavega di Amerika Serikat dengan membawa misi Otsus untuk penyelesaian masalah Papua. Dan Kunjungan Eny ke Indonesia adalah bukti kesungguhan Messet dan Franz Joku untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Hingga suatu saat ia bertemu dengan Alwi Hamu dan mau mempertemukannya dengan Wapres Jusuf Kalla pada Juli 2007 lalu. Dan akhirnya keinginannya itu terwujud dan kemarin bukti identitas dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia itu telah diberikan oleh utusan Wapres Jusuf Kalla.

Namun begitu, satu hal yang ditekankan Messet adalah bahwa dirinya ingin kembali ke pangkuan ibu pertiwi tak lain karena melihat Indonesia saat ini telah berubah. “Saya melihat perubahan di Indonesia, demokrasi sudah berkembang meski belum sempurna, tapi saya yakin akan terus tumbuh,” katanya. Selain itu, dengan Otsus, ia melihat Papua semakin menunjukan kemajuan, tak heran kalau terbersit keinginannya untuk ikut membangun Papua melalui bidang lainnya. “Otsus adalah perjuangan Papua Merdeka, tanpa perjuangan Papua merdeka Otsus tidak akan lahir,” tandasnya.
Tak hanya itu, satu yang dipetik dari perjuangannya selama 40 tahun untuk Papua merdeka, Messet telah kemana-mana melakukan lobi internasional di sejumlah negara demi terwujudnya Papua merdeka tetapi yang ditemuinya hanya janji yang tak jua terwujud hingga detik ini.(bersambung)
Cepos

Exit mobile version