Mengapa Asing Ikut Bermain di Papua? (1)

Written by ambolom
Friday, 27 August 2004
JAKARTA – Laksda (purn) Robert Mangindaan, yang kini aktif di LSM Center for Defense and Maritime Studies (CDMS) dalam sebuah diskusi di kantor redaksi Sinar Harapan awal Agustus lalu menilai isu Papua telah sampai pada tingkat yang gawat, karena ada kepentingan asing yang mulai bermain di sana. Indikasinya antara lain dengan pembentukan gugus tugas (task force) Papua di AS dan Australia yang kedua-duanya dipimpin oleh mantan militer dan militer aktif.
Di AS, gugus tugas Papua berada di bawah LSM Council on Foreign Relations dipimpin Laksamana (Purn) Dennis Blair, mantan Panglima Komando Pasifik. Sementara di Australia, gugus tugas Papua diketuai oleh Jenderal Peter Cosgrove, Panglima Australian Defense Force (ADF) yang pada 1999 menjadi Panglima Interfet ke Timor Timur.

Indikasi lain adalah munculnya permintaan 20 senator AS pada 28 Juni lalu, agar PBB mengirimkan wakil khusus untuk memantau situasi keamanan di Papua dan Aceh. Terkait dengan itu, kantor berita AP melaporkan pada 8 Juli mengenai pengungkapan dokumen rahasia yang lebih dari 25 tahun dari arsip nasional, yakni dokumen tahun 1969 yang terkait dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Dalam dokumen itu Henry Kissinger, Penasihat Keamanan AS, disebutkan menyarankan kepada Presiden Nixon yang akan berkunjung ke Jakarta, agar AS mendukung Indonesia dalam masalah Pepera, yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1964 dan berujung masuknya Irian Barat sebagai teritori RI.

”Para senator itu mempertanyakan keabsahan dukungan AS terhadap Pepera. Harap diingat, isu Timor Timur senantiasa hidup di kongres hanya karena ada tiga senator yang aktif, dan berakhir dengan lepasnya provinsi ke-27 itu. Sekarang ada 20 senator yang memberi perhatian serius pada masalah Papua, ini tidak main-main,” tegas Mangindaan.

Desakan internasional seperti itu bukan yang pertama, karena pada bulan Maret, sejumlah 88 anggota Parlemen Irlandia juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali Pepera. Uskup Afrika Selatan, Desmond Tutu, pada bulan Februari juga menyuarakan hal yang sama.

Tidak Bisa Digugat?

Pemerintah sendiri bukannya tidak menyadari hal ini. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeham), Yusril Izha Mahendra, seusai Rakor Polkam pada pertengahan Juli lalu menegaskan bahwa hasil Pepera telah menjadi keputusan hukum internasional yang tidak bisa digugat kembali.

”Ini lebih banyak soal politik daripada persoalan hukum. Keputusan lebih dari 40 tahun lalu, tidak bisa diukur dengan parameter-parameter yang ada sekarang. Mekanisme yang bisa berlaku pada zaman itu, ya seperti itulah keadaannya,” kata Yusril.

Dia menjelaskan tingkat pendidikan rakyat Papua pada tahun 1960-an tidak memungkinkan dilaksanakannya referendum. one man one vote, sehingga Pepera hanya dilakukan melalui representasi. Meski Yusril mengakui tetap ada mekanisme dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menggugat hal itu.

Sedangkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Independen Papua, Zainal Sukri, dalam perbincangan dengan SH, Sabtu (7/8), menilai bahwa dokumen lama yang diungkapkan oleh Amerika Serikat mengenai dukungan terhadap Pepera merupakan upaya AS untuk lepas tangan, dengan alasan secara yuridis AS tidak pernah terlibat secara langsung. Dia berharap Pemerintah segera meminta klarifikasi dari Washington DC.

”Kita harus ungkapkan juga fakta-fakta sejarah yang kita miliki. Sehingga dokumen yang dikeluarkan Amerika perlu kita klarifikasi berdasarkan dengan fakta dan realita yang ada tentang Pepera itu dengan dasar-dasar hukum, komitmen dan statement serta kesepakatan yang pernah ditempuh,” kata Zainal, yang di persidangan sering mendampingi para terdakwa kasus makar termasuk mendampingi tokoh Presidium Dewan Papua (PDP) Theys H Eluay (almarhum), Thaha Al Hamid, Pendeta Herman Awom dll.

Artinya, dalam New York Agreement (Perjanjian New York) tahun 1962 ada sejumlah syarat yang kalau disimak secara objektif terlihat Pepera harus dilakukan berdasarkan standar internasional, yaitu dilakukan oleh setiap orang dan memenuhi syarat secara perorangan (one man one vote), dengan memberikan suara apakah Papua berdiri sendiri sebagai negara merdeka atau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun dalam pelaksanaannya, Pepera justru berdasarkan pada Perjanjian Roma antara pemerintah Indonesia dengan Belanda yang dilakukan berdasarkan sistem musyawarah perwakilan dengan 750 orang untuk satu suara. ”Jadi wajar kalau ada klaim dari masyarakat Papua bahwa pelaksanaan Pepera bertentangan dengan kebiasaan internasional,” kata Zainal.

Tidak Padu

Pemerintah tampaknya memang harus bekerja keras merebut dan mengembalikan kepercayaan rakyat, tidak boleh berhenti pada sekadar memberi argumentasi. Karena persoalannya adalah apakah berbagai kebijakan di Papua sudah memuaskan aspirasi masyarakat di sana. Task Force Papua, pimpinan Laksamana (purn) Dennis Blair, misalnya, telah membuat kajian tentang Papua yang dituangkan dalam sebuah laporan yang dibukukan, dan di situ ada tiga hal yang menonjol. Pertama, bagaimana mengurus Papua dalam konteks nasionalisme Indonesia. Kedua, bagaimana menangani Papua dalam konteks otonomi khusus. Ketiga, mengenai tata pemerintahan (good governance) yang baik.

”Ketiga pengelompokan itu memang menjadi isu-isu penting di Papua, namun sayangnya pemerintah pusat tidak memiliki kesepahaman dan sikap terhadap ketiga isu tersebut. Kita sangat lemah di situ,” kata Mangindaan. Dia menunjuk konflik di Ambon, Poso dan perlakuan HAM yang buruk di Papua dapat menjadi entry point bagi kekuatan-kekuatan asing untuk masuk. Apalagi, AS berkepentingan menyelamatkan investasi senilai US$ 25 miliar di Timika, dan AS tidak suka China masuk ke Papua melalui Proyek Tangguh.

Pandangan itu dibenarkan pengamat masalah Papua, Frans Maniagassi. Dalam pandangannya, tuntutan merdeka sebagian disuarakan oleh generasi muda yang lahir awal tahun 1980-an, yang umumnya mereka tak punya ikatan dengan masa lalu seperti Pepera. ”Sehingga haruslah didalami mengapa mereka meminta merdeka, antara lain dengan tuntutan agar Pepera ditinjau. Pemerintah di Jakarta harus melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan yang diterapkan selama ini terhadap Papua,” katanya.

Maniagassi menegaskan masyarakat Papua sesungguhnya menginginkan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia Indonesia lainnya dengan tetap memperhatikan identitas adat dan budayanya yang khas. Sehingga mandat untuk membentuk Majelis Rakyat Papua seperti tertuang di UU Otsus Papua, misalnya, seharusnya diakomodasi.

Dia menuturkan, dirinya pernah diundang oleh Komisi HAM PBB di Den Haag dan betapa dia tercengang ketika dipaparkan berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan tercatat dengan sangat rapi dan rinci, sampai ke kesatuan terkecil. ”Hal-hal seperti itu yang malah tidak pernah diketahui oleh Jakarta,” katanya.

Bahwa Jakarta tidak serius menangani masalah Papua juga dinyatakan Laksda (Purn) Budiman Djoko Said, Wakil Ketua CDMS, yang menilai langkah-langkah Pemerintah menyangkut Papua tidak padu dalam suatu orkestrasi yang baik, dan tidak bergerak dalam kerangka Otonomi Khusus.

”Seharusnya pemerintah mengedepankan supervisi terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam pelaksanaan Otonomi Khusus, sehingga setiap adanya kemungkinan deviasi dapat dideteksi sejak dini dan dilakukan koreksi,” katanya. (ded/xha/ngl)

Exit mobile version